Sabtu, 26 Maret 2011

PONDASI MENGUKIR 200610, 240810

SERPIHAN POHON Melati PUTIH
Dear Mitfa                     
Mitfa, kaulah satu-satunya bunga indah yang …
di taman cinta, layu bukan berarti layu, itu memang gayamu untuk menutupi, menyelimuti, membalut luka karena arah panah asmara yang menancap pada daun asmara, ya begitulah waktu berputar tanpa batas, aku yakin Seribu kali yakin banyak kumbang, lebah ingin akan bahkan sudah menghisap sari yang kau simpan, ketika Mitfa merindukan kebahagiaan, membuang kesunyian dikala gembira enggan menghinggap.
Jangan kau hiraukan kicauan burung patuk belang yang berkicau tidak pada tempat dan waktunya. Mitfai tetap Mitfa,  Mitfa senbilan bulan yang lalu, sama dengan Melati sekarang. Aku terhipno oleh Mitfa bukan karena cantik semerbak harum mewangi harummu, atau lembutnya daun dan akarmu yang menjulang... Mutiara indah. . . .Mutiara indah .. . . Mutiara di balik aktingmu yang menarik kumbang Belang.
Mitfa adalah Mitfa yang aku kenal, penuh canda dan tawa, sesekali sewot karena hal tutur yang tak terkontrol. Langit biru terhiasi bintang-bintang bertaburan sinar kecil seakan berkata “Aku bagaikan jalan desa yang penuh kubangan berisi debu kotoran, seringkali peluru bionet keluar dari tarian jari yang menggetarkan palung samudera, seakan tiada tabir yang menghalangi, begitu polos nyanyian suara.”
Aku sering berenang ke dasar lautan yang dalam. Kebingungan yang aku dapat, entahlah …Aku tak mampu menyelam dalam, tak sopan kiranya
Aku sadar,  Untuk menyatukan dua hati yang berbeda tidak semudah membalik telapak tangan bagi orang yang stroke, ya itulah …
Anggap saja semua ini bagian dari seni membangun sebuah rumah mewah yang didalamnya penuh dengan duri-duri cinta.
Untuk bersama memerlukan proses sayang… ingat…!       
Your Love

Mitfa diam terpaku, dalam angannya dibiarkannya pikiran menjelajah samudera luas. Bagaskara, nama itu mengakar dalam kalbunya, air mata kesucian berlinang dengan bahagianya, langit kelabu berubah menjadi terang, bintang-bintang berjatuhan. Angin mesra menghiasi siang itu. Nganjuk, tiada lagi segerah dan sepanas kemarin. Senyum Melati mengembang, bunga mulai mekar aromanya mewangi.
“Benarkah masih ada orang yang peduli denganku?”
“Istimewa kah aku?”
“Ataukah memang aku punya potensi?”
“Apakah aku centhil?” dan “agak Endhel?”
Melati memandang kertas buram itu, kertas dilipatnya dengan hati-hati dan penuh sayang layaknya rengkuhan tangan Bagaskara yang penuh kasih.
Isi goresan itu tersimpan dalam long memory yang takkan mudah terhapus oleh angin atau badai sekalipun.
“Kapan tugas itu akan selesai Mitfa?”
“Insya Allah dua minggu lagi aku selesaikan, mas”
“kok, lama?”
“Iya, tugasku kan tidak hanya menyelesaikan tugas makalah saja.”
“Memangnya kenapa, mas?”
Bagaskara hanya tersenyum kecil, di pandanginya pohon Melati yang mulai tumbuh menjulang, rantingnya melambai-lambai, akar yang mencengkeram bumi yang hampir mati, bunga mewangi menantang lebah mendekati, pohon itu menguat dalam hidup dan cintanya.
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Aku hanya kwatir, komitmen yang sudah kita sepakati tidak terwujud.” Melati sedikit kikuk, akhir-akhir ini mas Bagas sangat perhatian denganku. 
“Melati, gunakan waktu untuk menulis.”
“Aku senang, kalau karya Melati selesai.”
“Lebih senang lagi, bila engkau menjadi milikku seutuhnya.”
“Oke, mas. Aku janji. Tapi, apa jaminannya bila aku selesai lebih awal?”
“Jaminannya, kau akan kumiliki seutuhnya.”
“Ingat Melati, puncak kita 28022011, waktu yang indah bukan?”
Bulan selalu menghadap ke arah matahari, bulan selalu memancarkan sinar matahari, bulan tanpa matahari, tanpa panas, hanyalah bulan tanpa makna. Melati terus mengembara dalam angan dan imajinasinya. Semangatnya berkobar karena matahari masih tetap memberikan sinar dan kehangatannya.
“Ya, sudah. Ayo pulang Melati.” Hari sudah senja.
Senja mulai menyelimuti Sepanjang jalan Nganjuk-Kediri, Melati berteriak sorak tiada berbahaya, berlari-lari di medan laga dipikul tanggung jawab. Wanita berkerudung menghimpit luka menggenggam derita memendam dalam mutiara berharga mengulum suka mengunyah bahagia.
“Akankah terwujud karya itu?” ada keraguan dalam benak Melati.
Perang batin antara iya dan tidak, peluh keringat menetes satu persatu. Langkah-langkah cepat memburu asa harapan yang hampir terhempas, angin bercampur debu menghantam tubuh kecilnya. Melati menatap langit putih bagai penyemangat kehidupan. Melati yakin, esok mentari kan bersinar.
Melati lahir dan dibesarkan di kampung asmara berhari berminggu berbulan bertahun-tahun hidup dingin. Melati lahir besar, dibesarkan dan hidup di musim hujan rintik gerimis dan lebat memeras langit membanjiri jagat. Melati butuh tiupan angin lembut yang meluluhkan hati. Melati butuh tirta untuk meredam jiwa menganga angkara. Melati butuh sentuhan-sentuhan bijak tarian kata-kata.
Ditatapnya dinding kamar yang bisu matanya tak sedikitpun mau terpejam bayang Bagaskara terus di pelupuk matanya.
“Sudah tidur Melati?, mana karyamu, jangan malas untuk menulis ya?”
“Dingin terhantar hangat tertahan. Aku tahu dunia gebyar. Ini sayang penghantar tidurmu.”
“Terima kasih, selamat istirahat.”
Suara hati seolah kan bercerita kebisuan malam yang bergerak pagi menghanyutkan sukma kalbu, kurakit kata-kata indah dengan gairah menggelora bagai ombak di karang lepas samudera, bayang Bagaskara mengindera di pelupuk mata, canda tawa kecil Bagaskara penerang hati dari kegelapan langit yang pekat. Kaulah penggerak hati yang hampir mati.
“Selamat pagi Melati, gimana kabar tidur malammu?” Melati hanya diam membisu. Ditatapnya Bagaskara dengan penuh arti.
“Tidur yang indah penuh dengan mimpi bayangmu.”
“Bayangan seperti apa?”
“Seperti matahari yang selalu menyinari hamparan bumi.”
Tatapan Bagaskara semakin tajam ke arah Melati.
“Oke, cantik benar kekasihku pagi ini”
“Ah.., pagi-pagi sudah bercanda.”
“Suer, aku tidak bercanda Melati, That I love so much.”
Pias wajah Melati memerah. Senyum kecil menghiasi bibirnya, malu bercampur kebahagiaan yang ia rasakan.
Wajah yang sang bulan tetap bersinar setelah ditatap cahaya mentari di kala terang malam. Wajah Bagaskara tetap terbayang di benaknya selalu.
“Sudah makan pagi? jangan lupa walaupun hanya sesuap nasi aku ingin melihatmu sehat, kuat dan tetap cantik.”
“Thank`s. aku pun juga ingin melihat matahariku tetap bersinar di ufuk timur hatiku.”
Seandainya bulan bintang bertemu matahari di malam hari, meski… mereka tiada mampu memancarkan sinar dikala jauh dengannya, mereka tersenyum simpul.
Hari berganti hari, tiga hari setelah pertemuan itu ditengah sunyi menjelang pagi, kalimat sudah tidak seindah dulu, kecewa, sedih karena badai tak mampu menghalaunya tak kuasa menolak semua angannya.
“Ku tahu, kau telah ingkar janji, karena kau takut tak mampu membendung rasa rindu yang sudah menggumpal.”
“Sorot matamu bicara walau aku tak melihat, tatapanmu sendu walau aku tak nampak.” ucap Melati.
“Maksud makna menggapai sorot cahaya yang memancar sempurna, tangan pun tak mampu untuk merengkuh menyambung mata meraba cahaya.” Bagaskara memberi pengertian.
“Tapi, harusnya matahari tidak berhenti bersinar.”
“Melati…cinta tercipta bukan berarti untuk diomongkan, tapi untuk dirasakan, cinta tercipta untuk di mengerti dan dihayati dengan kata-kata hati bila tak ingin menyesal di kemudian hari.”
“Mas.. kalau hanya cinta tapi tidak memiliki itu tidak mungkin !!!”
“Aku cinta padamu sungguh, Ini untukmu sebagai bahan perenungan Melati!”
Bunga matahari selalu menghadap ke arah matahari. Adakah itu kau perhatikan?
“Bunga matahari tanpa matahari, ia hanya sekuntum bunga tanpa arti. Adakah itu kau pikirkan ?”
Dua minggu lamanya tiupan itu ia rasakan kembali, dirasakan pori merusak hati yang mau mati, bangkit kembali merasai cinta sejati yang dilingkari mentari waktu pagi, separuh hatiku sudah kau bawa kala ku tak dengar suara itu, resah.
“Jangan biarkan separuh hati itu beku karena dinginnya kasih.”
Sehari-hari ku lewati, aroma melatiku akrapi tiada henti rasanya ku tak mampu lari walaupun duri-duri unjuk gigi.
“Melati, kau menusuk hati. Hatiku ku kapling untukmu. Luka, duka, lara gelisah, susah, buang dan bumikan dalam-dalam tataplah aku kapan saja seperti kau menatap mentari walau jauh tanpa cahaya penuh kehangatan.”
Kericik tetesan air embun pagi nampak indah pelangi di atas sungai harum mewangi bunga mustaka weni ilusi imaji pergi ke dalam mimpi, kuseberangi hari demi hari tiada henti ku memadu kasih sesama pujaan hati.
Di depan rumahmu sore itu untuk terakhir kali aku memandang wajahmu di balik kaca, kau diam! Berdiri memandangi senang berbau sedih menyelimut suara mesin menderam, lalu jarakpun perlahan membentang diantara daun sono kembang luruh tertiup angin, gerimis perlahan turun menjemput malam hatiku pun kelam bekas pelukan.
I love you so much. I can`t lets you go. And sometimes I believe you love me. But somewhere between your heart and mine there`s love I can understand”

The End

By : luqman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar