Sabtu, 26 Maret 2011

GURU CENTHIL

KISAH SINGKAT
DIBALIK SENYUMAN GURU CENTIL

Pagi sunyi di lereng Kota dimana udara fresh, sinar matahari dan embun pagi berjatuhan, sayup-sayup suara belalang, kicauan berbagai jenis burung membuat telinga peka akan musik alam, meleremkan hati yang garang akan sakit asmara, sinarpun menerangi muka kota menerobos dedaunan yang tertiup angin melambai kegirangan, disamping itu,  lalu lalang anak adam kesana kemari mengejar kehidupan menopang rejeki menghidupi keluarga.
          Kala itu, akupun tergiur dengan suasana yang selama ini belum pernah kutemui, dibilang aneh, memang, ada sesuatu yang mengherankan angan pikiranku, yaitu bangunan indah di puncak kota. Aku beranikan berdekat dengan seorang pencari kayu tentang karakter gunung. Ya ada sampingan, suatu bangunan pertapan orang jawa menamai.
          Di balik bangunan itu ada beberapa gedung yang megah indah sedap dipandang mata. Aku tertarik tidak hanya pada kemolekan bangunan, melainkan, beberapa hal yang membuatku terpesona. Setelah aku masuk dan  menjadi siswa   akhirnya Sekolah menengah Umum atau SMU yang bercirikas Islam orang menyebut. Sekolah  itu menjadi tempat dimana aku merakit, merajut dan menganyam kenangan pahit getir masa-masa remajaku.
          Dua bulan setelah aku belajar di  sekolah itu, membuatku senang dan tertarik, aku juga ingin menjadi sorang pengajar nantinya, karena aku sering melihat kegembiraan beberapa guru dan temanku yang saling menabur tawa sutra untuk melepas kesunyian. Kulihat diantara 21 guru ada seorang guru wanita yang menjadi idola bagi sebagian besar temanku, ya maklum, memang, karakter orang berbeda. Tapi guru yang satu ini berbeda, aku pun terkagum juga, disaat aku menyaksikan aktivitas yang dilakukan, bagaimana memperlakukan, mendekat, menjalin keakrapan di antara aku, temanku dan guru idolaku.
          Seorang guru centhil energik, berparas serasi, rambut terurai, berwajah natural, sesekali bibir dipoles tipis. Tiada hari tanpa taburan senyum manis yang membuat hati luka terobati. Tegur sapapun kadang membuatku manja, tuk mendapatkan kasih sayang, layaknya seorang ibu menyayangi babynya, tindak tutur yang keluarpun menjadi perekat, tidak aneh, kalau jadi idola. ya walau ditempa tugas harian dipundak yang menumpuk bak tumpukan kertas digudang barang bekas, yang menanti tuk diemban, bu Mita,  nama yang singkat mudah diucapkan, ini adalah sebutan yang cukup mengesankan.
          Setiap hari Bu Mitha mengajar dari jam 06.30 sampai jam 16.30, ya bu Mita memang berbadan mungil seksi, lincah dalam bergerak waktu mengajar. Sesekali pembicaraanya diikuti gerakan badan, lambaian tangan, wicaranya santun, akrab dengan siswa siswi, yang di ajar kayaknya bukan hanya dikelasku saja, teman di kelas lain juga merasakan hal yang sama..
          Suatu hari pernah kucoba tuk mendekat secara akrab, akupun agak malu-malu, tanganganku tertatih ingin berjabat tangan dengannya.
  “ bu Mita” kalimat yang terucap dari hasil tarian lidah rajutan dua bibirku, suaraku saat itu teriring dengan denyut jantung cepat tak terkontrol.
“Mita, lho ada apa sayang” saut bu Mita sambil mata kenceng memandang curiga pada mukaku, ya maklum dia baru kali ini memanggilnya, tapi aku dah paham tentang bu Mita.
“Anu bu, e…e…eh”  bibirku agak sulit kubuka bagaikan kena lem, lekat rasanya, baru setelah tertata kata dan kalimat dalam anganku, dan aku mau berucap, e.. tiba-tiba teman-teman  berdatangan mendekat Bu Mita semabari mengucap salam
“ selamat pagi Ibu” satu persatu silih berganti, sambil berjabat tangan, tak heran tangan bu Mita diangkat tuk dicium, ada yang sambil merangkul, menggandeng, sementara ada yang berkata manja.
“Ibu aku kangen, aku ingin bersama ibu” ucap salah satu siswi, sambil kaki kirinya diangkat ditekan ketanah berkali-kali.
“Iya nak, Ibu juga kangeeen sama kamu nak” sambil menganggukkan kepala. “Deny” sapa bu Mita kepada Deny “ kemarin tidak masuk, sakit ya” dengan khas penuh kasih dan sayang suara bu mita menyapa Deny.
“Iya bu, kepalaku agak pusing” saut Deny.
Satu persatu dari 37 siswa kelas F secara bergantian mengikuti di belakang sambil berjalan mengikuti bu Mita masuk kelas.
Aku jadi bengong ditinggal tak terusrus, masih mending aku bisa mendengar suara sayup-sayup bu Mita membuka tuk mulai pelajaran. Tak lama kemudian terdengar suara bu Mita memberi tugas, kayaknya karena mau menemuiku. “maaf  ya” kata bu Mita kepadaku
“ndak pa-pa bu” jawabku dengan nada agak sungkan.
“ngomong-ngomong, akhir-akhir  ini penampilanmu berbeda, apa yang dapat saya Bantu” dengan gaya lemah lembut gemulai, bu Mita memang seorang guru yang melekat di hati siswanya karena kelembutan dan rasa sayangnya kepada siswa, anak-anak dah dianggap sepeti anaknya sendiri.
“anjang sana bu” suara lantang keluar dari bibirku
“anjang sana” Tanya bu Mita kepdaku.
“bener?, masak,  kusut pucat tak berdaya” sontak hatiku berkelit kata, “ada apa ya dengan roman mukaku sampai bu Mita tahu?”
“terimakasih bu” jawabku spontan, “kayaknya aku mengganggu ibu” tanyaku, “kalau begitu lain waktu aja bu, aku mau cerita ke ibu”. Aku ketakutan jangan-jangan kedhok asmaraku tercium oleh bu Mita, tapi ya ndak apalah memang Bu Mita dah ku anggap bundaku sendiri.
          Di waktu yang tidak lama, aku agak menjauh acuh dari  bu Mita, tetapi untuk melihat aktivitas bu Mita masih jelas dari pandanganku, ketika aku setengah melamun ada suara sayup-sayup kompak suara siswa di kelas “ibu . . . ibu . . .ibu”, bak prajurit baris meneriakkan yel-yel. Kelas itu di sebelah barat tepatnya kelas C. hatiku berkata lembut, “begitu anggunnya bu Mita”, dia adalah sosok guru yang didambakan kedatangannya di dalam kelas, bak bulan merindukan matahari, tidak hanya itu saja, bu Mita memang guru yang favourite di sekolahku, sampai ratusan bahkan ribuan alumni masih mengenang Bu Mita, terbukti pada saat tanggal kelahiran bu Mita, puluhan alumni datang menyalami Bu Mita, ditambah lagi suara dering nada Handphonya yang menada di sapanjang hari, pertanda ratusan sms masuk, dan panggilan langsung, kayaknya semuanya mengucapkan selamat ulang tahun pada bu Mita, terlihat dari kalimat “ya terimaksih, amin, doakan ibu ya” respon bu Mita bagi yang call saat itu.
          Ku beranikan tuk mendekati beberapa temanku, aku tak ada tujuan khusus, memang,  aku ingin mendapatkan info tentang bu Mita, keinginan inipun muncul secara spontan setelah aku mengadakan dialog kecil bersama dia. Hatiku tetap bertanya-tanya sembari ragu, kenapa ya bu Mita dapat membaca roman mukaku, “apa bu Mita punya indra ke 7, layaknya para normal, ah masa bodoh”.
          Guru wanita di sekolahku tidak hanya bu Mita, masih ada 12 lagi guru yang mirip bu Mita, tapi karakternya tak seperti Bu Mita, dia adalah bu Umawati, guru mata pelajaran moral di sekolahku, bu Uma memiliki postur tubuh agak gemuk dan tinggi sedikit dibanding Bu Mita, bu Uma bisanya mengajar di kelas D pada hari selasa, kelas sebelah di mana bu Mita mengajarku.

“Mas, mbak,e. .mas . .., mbak . . .” sapaku kepada enam siswa kelas C yang lewat di depanku, sambil terkejut malu mereka ku panggil. “kok tidak masuk mas” tanyaku dengan lancang seperti guru menegur siswanya. “gurunnya ndak ok” serempak jawabnya. Aku jadi ingin tahu lebih jauh dari ungkapan tersebut. Siapa guru yang tidak disukai oleh siswa di sekolahan itu.
e. . .e . .. ternyata “Bu Umawati” cletuk siswa berambut panjang berbadan langsing, tingginya sekitar 165, kulit putih bersih, “ tau aja lho” saut 5 teman lainya.
          Cerita punya cerita, bu Umawati sosok guru yang agak sangar, jangankan peduli, senyum aja hanya dikulum, tambah lagi gayanya agak sewot, mengenggam air tak pernah tumpah.
Para siswa mengatakan “adanya hari senin aja setiap seminggu”, “apa itu ” tanyaku. Akupun merasakan yang sama ketika bu Uma mengajar di kelasku, kelasku kayak penjara, bak neraka dunia. gerakanku dipantau terus dengan sorot mata seperti elang mau menangkap mangsa, waktu aku kurang paham dengan penjelasanya, kucoba angkat tanganku sambil bertanya, malah dijawab ”maka dengarkan jangan ngelamun mlulu” kalimat bu Uma yang keluar dari kerasnya hati plototan mata, yang membuatku malas tuk belajar bersamanya, nasib itupun dialami teman-teman yang lain.
          Untungnya, aku punya bu Mita, yang kuanggap mampu menyinari suram, buram,  dan  kelabu mendung tebal hatiku. Kedatangan bu Mita sebagai matahari di malam hari, dirindukan beribu bintang di langit tinggi dan luas. Acap kali teman-temanku terbentur problem, seseringkali mengakrabi Bu Mita, pokoknya tiada hari tanpa bu Mita, tiada hati tanpa bu Mita . . . ?
          Begitu mulia guruku, anggun, lembut penuh kasih sayang. . . .! nampak tegar, sumunar dan kayaknya tak pernah menyimpan duka derita.
          Suatu hari menjelang 30 menit istirahat, aku berjalan menuju kamar kecil untuk buang air, kulihat bu Mita termenung menyendiri sesekali mengusap mata dengan sapu tangan berwarna biru bergris coklat, dibuka lebar, dilipat lalu diusapkan ke dua matanya. Aku berhenti sambil memperhatikan dibalik kaca cendela.
          Eeeeeeee ……….eeeeeeeee ternyata bu Mita menangis sampai dua matanya mbendul-mbendul. “ada apa dengan bu Mita” kata hatiku “apa ada masalah keluarga”
Ya jangan-jangan bu Mita habis perang Mulut.
GAK TAULAH ITU URUSAN PRIBADI…………….IRONI KAYAKNYA DIBALIK ACTING.
          Semoga hanya aku yang tahu, kasihan . . .?”
          Jangan sampai teman-temanku tahu . . .?”

Ternyata di balik kecenthilan bu Mita mengulum cemas.
tak ada yang sempurna di dunia ini. Aku pernah mengambilkan potongan kertas yang jatuh dari saku bu mita, coba ku intip kecil coretan-coretannya. Beberapa kata rakitan yang ku ingat, dan ku pastikan itu tulisan bu Mita. Kenapa karna aku hafal sekali model tulisannya.

Aku adalah tanah subur terhambar di blantara luas,
Tak terbendung oleh alas pembatas
Tumbuhan begitu riang, liar dan buas,
Sayang. ......
Sinar Mentari tak sering menembus,
Yang tumbuh taklama menjadi aus
Aku tak butuh pupuk penyubur
Aku rindu akan sinar penghibur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar