Minggu, 27 Maret 2011

Implementasi Pendidikan Karakter

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A.     Latar Belakang
Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam
     Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus terlibat, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
   Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
Berdasarkan pada pengertian singkat yang melatari penulisan ini,  banyak pihak menuntut adanya peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Gejala-gejala tersebut menggugah penulis untuk mendedah permasalahan pendidikan, sebagai upaya ikut serta memberikan konstribusi  dalam menghadapi masalah besar bangsa secara umum, untuk lembaga pendidikan tertentu secara khsusus, penulis berusaha untuk menggali, menjelaskan dan memberikan langkah-langkah rinci tentang bagaimana Pendidikan Karakter dapat diimplementasikan di lembaga pendidikan formal maupun non formal.

B.     Tinjauan Pustaka
1.     Pengertian Pendidikan karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

   Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

2.     Langkah-langkah pendidikan karakter
a.      Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
b.     Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
c.      Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
d.     Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

C.     Pembahasan
Implementasi pendidikan karakter di sekolah salah satunya dapat dilakukan melalui pengintegrasian dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, dimana materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Konsekuensi logis dari pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran, maka setiap guru dituntut untuk dapat merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran yang bernuansa karakter.
Terkait dengan kegiatan merencanakan pembelajaran yang bernuansa karakter, di bawah ini saya sediakan tautan  file  contoh atau model  Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang bernuansa karakter untuk mata pelajaran IPS di SMP (merupakan lampiran dari Panduan Pembinaan Pendidikan Karakter  di Sekolah Menengah Pertama, yang tentunya perlu dikembangkan lebih lanjut)



D.    Penutup
1.     Kesimpulan
2.     Saran

Sabtu, 26 Maret 2011

Connotative Relation

PONDASI MENGUKIR 200610, 240810

SERPIHAN POHON Melati PUTIH
Dear Mitfa                     
Mitfa, kaulah satu-satunya bunga indah yang …
di taman cinta, layu bukan berarti layu, itu memang gayamu untuk menutupi, menyelimuti, membalut luka karena arah panah asmara yang menancap pada daun asmara, ya begitulah waktu berputar tanpa batas, aku yakin Seribu kali yakin banyak kumbang, lebah ingin akan bahkan sudah menghisap sari yang kau simpan, ketika Mitfa merindukan kebahagiaan, membuang kesunyian dikala gembira enggan menghinggap.
Jangan kau hiraukan kicauan burung patuk belang yang berkicau tidak pada tempat dan waktunya. Mitfai tetap Mitfa,  Mitfa senbilan bulan yang lalu, sama dengan Melati sekarang. Aku terhipno oleh Mitfa bukan karena cantik semerbak harum mewangi harummu, atau lembutnya daun dan akarmu yang menjulang... Mutiara indah. . . .Mutiara indah .. . . Mutiara di balik aktingmu yang menarik kumbang Belang.
Mitfa adalah Mitfa yang aku kenal, penuh canda dan tawa, sesekali sewot karena hal tutur yang tak terkontrol. Langit biru terhiasi bintang-bintang bertaburan sinar kecil seakan berkata “Aku bagaikan jalan desa yang penuh kubangan berisi debu kotoran, seringkali peluru bionet keluar dari tarian jari yang menggetarkan palung samudera, seakan tiada tabir yang menghalangi, begitu polos nyanyian suara.”
Aku sering berenang ke dasar lautan yang dalam. Kebingungan yang aku dapat, entahlah …Aku tak mampu menyelam dalam, tak sopan kiranya
Aku sadar,  Untuk menyatukan dua hati yang berbeda tidak semudah membalik telapak tangan bagi orang yang stroke, ya itulah …
Anggap saja semua ini bagian dari seni membangun sebuah rumah mewah yang didalamnya penuh dengan duri-duri cinta.
Untuk bersama memerlukan proses sayang… ingat…!       
Your Love

Mitfa diam terpaku, dalam angannya dibiarkannya pikiran menjelajah samudera luas. Bagaskara, nama itu mengakar dalam kalbunya, air mata kesucian berlinang dengan bahagianya, langit kelabu berubah menjadi terang, bintang-bintang berjatuhan. Angin mesra menghiasi siang itu. Nganjuk, tiada lagi segerah dan sepanas kemarin. Senyum Melati mengembang, bunga mulai mekar aromanya mewangi.
“Benarkah masih ada orang yang peduli denganku?”
“Istimewa kah aku?”
“Ataukah memang aku punya potensi?”
“Apakah aku centhil?” dan “agak Endhel?”
Melati memandang kertas buram itu, kertas dilipatnya dengan hati-hati dan penuh sayang layaknya rengkuhan tangan Bagaskara yang penuh kasih.
Isi goresan itu tersimpan dalam long memory yang takkan mudah terhapus oleh angin atau badai sekalipun.
“Kapan tugas itu akan selesai Mitfa?”
“Insya Allah dua minggu lagi aku selesaikan, mas”
“kok, lama?”
“Iya, tugasku kan tidak hanya menyelesaikan tugas makalah saja.”
“Memangnya kenapa, mas?”
Bagaskara hanya tersenyum kecil, di pandanginya pohon Melati yang mulai tumbuh menjulang, rantingnya melambai-lambai, akar yang mencengkeram bumi yang hampir mati, bunga mewangi menantang lebah mendekati, pohon itu menguat dalam hidup dan cintanya.
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Aku hanya kwatir, komitmen yang sudah kita sepakati tidak terwujud.” Melati sedikit kikuk, akhir-akhir ini mas Bagas sangat perhatian denganku. 
“Melati, gunakan waktu untuk menulis.”
“Aku senang, kalau karya Melati selesai.”
“Lebih senang lagi, bila engkau menjadi milikku seutuhnya.”
“Oke, mas. Aku janji. Tapi, apa jaminannya bila aku selesai lebih awal?”
“Jaminannya, kau akan kumiliki seutuhnya.”
“Ingat Melati, puncak kita 28022011, waktu yang indah bukan?”
Bulan selalu menghadap ke arah matahari, bulan selalu memancarkan sinar matahari, bulan tanpa matahari, tanpa panas, hanyalah bulan tanpa makna. Melati terus mengembara dalam angan dan imajinasinya. Semangatnya berkobar karena matahari masih tetap memberikan sinar dan kehangatannya.
“Ya, sudah. Ayo pulang Melati.” Hari sudah senja.
Senja mulai menyelimuti Sepanjang jalan Nganjuk-Kediri, Melati berteriak sorak tiada berbahaya, berlari-lari di medan laga dipikul tanggung jawab. Wanita berkerudung menghimpit luka menggenggam derita memendam dalam mutiara berharga mengulum suka mengunyah bahagia.
“Akankah terwujud karya itu?” ada keraguan dalam benak Melati.
Perang batin antara iya dan tidak, peluh keringat menetes satu persatu. Langkah-langkah cepat memburu asa harapan yang hampir terhempas, angin bercampur debu menghantam tubuh kecilnya. Melati menatap langit putih bagai penyemangat kehidupan. Melati yakin, esok mentari kan bersinar.
Melati lahir dan dibesarkan di kampung asmara berhari berminggu berbulan bertahun-tahun hidup dingin. Melati lahir besar, dibesarkan dan hidup di musim hujan rintik gerimis dan lebat memeras langit membanjiri jagat. Melati butuh tiupan angin lembut yang meluluhkan hati. Melati butuh tirta untuk meredam jiwa menganga angkara. Melati butuh sentuhan-sentuhan bijak tarian kata-kata.
Ditatapnya dinding kamar yang bisu matanya tak sedikitpun mau terpejam bayang Bagaskara terus di pelupuk matanya.
“Sudah tidur Melati?, mana karyamu, jangan malas untuk menulis ya?”
“Dingin terhantar hangat tertahan. Aku tahu dunia gebyar. Ini sayang penghantar tidurmu.”
“Terima kasih, selamat istirahat.”
Suara hati seolah kan bercerita kebisuan malam yang bergerak pagi menghanyutkan sukma kalbu, kurakit kata-kata indah dengan gairah menggelora bagai ombak di karang lepas samudera, bayang Bagaskara mengindera di pelupuk mata, canda tawa kecil Bagaskara penerang hati dari kegelapan langit yang pekat. Kaulah penggerak hati yang hampir mati.
“Selamat pagi Melati, gimana kabar tidur malammu?” Melati hanya diam membisu. Ditatapnya Bagaskara dengan penuh arti.
“Tidur yang indah penuh dengan mimpi bayangmu.”
“Bayangan seperti apa?”
“Seperti matahari yang selalu menyinari hamparan bumi.”
Tatapan Bagaskara semakin tajam ke arah Melati.
“Oke, cantik benar kekasihku pagi ini”
“Ah.., pagi-pagi sudah bercanda.”
“Suer, aku tidak bercanda Melati, That I love so much.”
Pias wajah Melati memerah. Senyum kecil menghiasi bibirnya, malu bercampur kebahagiaan yang ia rasakan.
Wajah yang sang bulan tetap bersinar setelah ditatap cahaya mentari di kala terang malam. Wajah Bagaskara tetap terbayang di benaknya selalu.
“Sudah makan pagi? jangan lupa walaupun hanya sesuap nasi aku ingin melihatmu sehat, kuat dan tetap cantik.”
“Thank`s. aku pun juga ingin melihat matahariku tetap bersinar di ufuk timur hatiku.”
Seandainya bulan bintang bertemu matahari di malam hari, meski… mereka tiada mampu memancarkan sinar dikala jauh dengannya, mereka tersenyum simpul.
Hari berganti hari, tiga hari setelah pertemuan itu ditengah sunyi menjelang pagi, kalimat sudah tidak seindah dulu, kecewa, sedih karena badai tak mampu menghalaunya tak kuasa menolak semua angannya.
“Ku tahu, kau telah ingkar janji, karena kau takut tak mampu membendung rasa rindu yang sudah menggumpal.”
“Sorot matamu bicara walau aku tak melihat, tatapanmu sendu walau aku tak nampak.” ucap Melati.
“Maksud makna menggapai sorot cahaya yang memancar sempurna, tangan pun tak mampu untuk merengkuh menyambung mata meraba cahaya.” Bagaskara memberi pengertian.
“Tapi, harusnya matahari tidak berhenti bersinar.”
“Melati…cinta tercipta bukan berarti untuk diomongkan, tapi untuk dirasakan, cinta tercipta untuk di mengerti dan dihayati dengan kata-kata hati bila tak ingin menyesal di kemudian hari.”
“Mas.. kalau hanya cinta tapi tidak memiliki itu tidak mungkin !!!”
“Aku cinta padamu sungguh, Ini untukmu sebagai bahan perenungan Melati!”
Bunga matahari selalu menghadap ke arah matahari. Adakah itu kau perhatikan?
“Bunga matahari tanpa matahari, ia hanya sekuntum bunga tanpa arti. Adakah itu kau pikirkan ?”
Dua minggu lamanya tiupan itu ia rasakan kembali, dirasakan pori merusak hati yang mau mati, bangkit kembali merasai cinta sejati yang dilingkari mentari waktu pagi, separuh hatiku sudah kau bawa kala ku tak dengar suara itu, resah.
“Jangan biarkan separuh hati itu beku karena dinginnya kasih.”
Sehari-hari ku lewati, aroma melatiku akrapi tiada henti rasanya ku tak mampu lari walaupun duri-duri unjuk gigi.
“Melati, kau menusuk hati. Hatiku ku kapling untukmu. Luka, duka, lara gelisah, susah, buang dan bumikan dalam-dalam tataplah aku kapan saja seperti kau menatap mentari walau jauh tanpa cahaya penuh kehangatan.”
Kericik tetesan air embun pagi nampak indah pelangi di atas sungai harum mewangi bunga mustaka weni ilusi imaji pergi ke dalam mimpi, kuseberangi hari demi hari tiada henti ku memadu kasih sesama pujaan hati.
Di depan rumahmu sore itu untuk terakhir kali aku memandang wajahmu di balik kaca, kau diam! Berdiri memandangi senang berbau sedih menyelimut suara mesin menderam, lalu jarakpun perlahan membentang diantara daun sono kembang luruh tertiup angin, gerimis perlahan turun menjemput malam hatiku pun kelam bekas pelukan.
I love you so much. I can`t lets you go. And sometimes I believe you love me. But somewhere between your heart and mine there`s love I can understand”

The End

By : luqman

GURU CENTHIL

KISAH SINGKAT
DIBALIK SENYUMAN GURU CENTIL

Pagi sunyi di lereng Kota dimana udara fresh, sinar matahari dan embun pagi berjatuhan, sayup-sayup suara belalang, kicauan berbagai jenis burung membuat telinga peka akan musik alam, meleremkan hati yang garang akan sakit asmara, sinarpun menerangi muka kota menerobos dedaunan yang tertiup angin melambai kegirangan, disamping itu,  lalu lalang anak adam kesana kemari mengejar kehidupan menopang rejeki menghidupi keluarga.
          Kala itu, akupun tergiur dengan suasana yang selama ini belum pernah kutemui, dibilang aneh, memang, ada sesuatu yang mengherankan angan pikiranku, yaitu bangunan indah di puncak kota. Aku beranikan berdekat dengan seorang pencari kayu tentang karakter gunung. Ya ada sampingan, suatu bangunan pertapan orang jawa menamai.
          Di balik bangunan itu ada beberapa gedung yang megah indah sedap dipandang mata. Aku tertarik tidak hanya pada kemolekan bangunan, melainkan, beberapa hal yang membuatku terpesona. Setelah aku masuk dan  menjadi siswa   akhirnya Sekolah menengah Umum atau SMU yang bercirikas Islam orang menyebut. Sekolah  itu menjadi tempat dimana aku merakit, merajut dan menganyam kenangan pahit getir masa-masa remajaku.
          Dua bulan setelah aku belajar di  sekolah itu, membuatku senang dan tertarik, aku juga ingin menjadi sorang pengajar nantinya, karena aku sering melihat kegembiraan beberapa guru dan temanku yang saling menabur tawa sutra untuk melepas kesunyian. Kulihat diantara 21 guru ada seorang guru wanita yang menjadi idola bagi sebagian besar temanku, ya maklum, memang, karakter orang berbeda. Tapi guru yang satu ini berbeda, aku pun terkagum juga, disaat aku menyaksikan aktivitas yang dilakukan, bagaimana memperlakukan, mendekat, menjalin keakrapan di antara aku, temanku dan guru idolaku.
          Seorang guru centhil energik, berparas serasi, rambut terurai, berwajah natural, sesekali bibir dipoles tipis. Tiada hari tanpa taburan senyum manis yang membuat hati luka terobati. Tegur sapapun kadang membuatku manja, tuk mendapatkan kasih sayang, layaknya seorang ibu menyayangi babynya, tindak tutur yang keluarpun menjadi perekat, tidak aneh, kalau jadi idola. ya walau ditempa tugas harian dipundak yang menumpuk bak tumpukan kertas digudang barang bekas, yang menanti tuk diemban, bu Mita,  nama yang singkat mudah diucapkan, ini adalah sebutan yang cukup mengesankan.
          Setiap hari Bu Mitha mengajar dari jam 06.30 sampai jam 16.30, ya bu Mita memang berbadan mungil seksi, lincah dalam bergerak waktu mengajar. Sesekali pembicaraanya diikuti gerakan badan, lambaian tangan, wicaranya santun, akrab dengan siswa siswi, yang di ajar kayaknya bukan hanya dikelasku saja, teman di kelas lain juga merasakan hal yang sama..
          Suatu hari pernah kucoba tuk mendekat secara akrab, akupun agak malu-malu, tanganganku tertatih ingin berjabat tangan dengannya.
  “ bu Mita” kalimat yang terucap dari hasil tarian lidah rajutan dua bibirku, suaraku saat itu teriring dengan denyut jantung cepat tak terkontrol.
“Mita, lho ada apa sayang” saut bu Mita sambil mata kenceng memandang curiga pada mukaku, ya maklum dia baru kali ini memanggilnya, tapi aku dah paham tentang bu Mita.
“Anu bu, e…e…eh”  bibirku agak sulit kubuka bagaikan kena lem, lekat rasanya, baru setelah tertata kata dan kalimat dalam anganku, dan aku mau berucap, e.. tiba-tiba teman-teman  berdatangan mendekat Bu Mita semabari mengucap salam
“ selamat pagi Ibu” satu persatu silih berganti, sambil berjabat tangan, tak heran tangan bu Mita diangkat tuk dicium, ada yang sambil merangkul, menggandeng, sementara ada yang berkata manja.
“Ibu aku kangen, aku ingin bersama ibu” ucap salah satu siswi, sambil kaki kirinya diangkat ditekan ketanah berkali-kali.
“Iya nak, Ibu juga kangeeen sama kamu nak” sambil menganggukkan kepala. “Deny” sapa bu Mita kepada Deny “ kemarin tidak masuk, sakit ya” dengan khas penuh kasih dan sayang suara bu mita menyapa Deny.
“Iya bu, kepalaku agak pusing” saut Deny.
Satu persatu dari 37 siswa kelas F secara bergantian mengikuti di belakang sambil berjalan mengikuti bu Mita masuk kelas.
Aku jadi bengong ditinggal tak terusrus, masih mending aku bisa mendengar suara sayup-sayup bu Mita membuka tuk mulai pelajaran. Tak lama kemudian terdengar suara bu Mita memberi tugas, kayaknya karena mau menemuiku. “maaf  ya” kata bu Mita kepadaku
“ndak pa-pa bu” jawabku dengan nada agak sungkan.
“ngomong-ngomong, akhir-akhir  ini penampilanmu berbeda, apa yang dapat saya Bantu” dengan gaya lemah lembut gemulai, bu Mita memang seorang guru yang melekat di hati siswanya karena kelembutan dan rasa sayangnya kepada siswa, anak-anak dah dianggap sepeti anaknya sendiri.
“anjang sana bu” suara lantang keluar dari bibirku
“anjang sana” Tanya bu Mita kepdaku.
“bener?, masak,  kusut pucat tak berdaya” sontak hatiku berkelit kata, “ada apa ya dengan roman mukaku sampai bu Mita tahu?”
“terimakasih bu” jawabku spontan, “kayaknya aku mengganggu ibu” tanyaku, “kalau begitu lain waktu aja bu, aku mau cerita ke ibu”. Aku ketakutan jangan-jangan kedhok asmaraku tercium oleh bu Mita, tapi ya ndak apalah memang Bu Mita dah ku anggap bundaku sendiri.
          Di waktu yang tidak lama, aku agak menjauh acuh dari  bu Mita, tetapi untuk melihat aktivitas bu Mita masih jelas dari pandanganku, ketika aku setengah melamun ada suara sayup-sayup kompak suara siswa di kelas “ibu . . . ibu . . .ibu”, bak prajurit baris meneriakkan yel-yel. Kelas itu di sebelah barat tepatnya kelas C. hatiku berkata lembut, “begitu anggunnya bu Mita”, dia adalah sosok guru yang didambakan kedatangannya di dalam kelas, bak bulan merindukan matahari, tidak hanya itu saja, bu Mita memang guru yang favourite di sekolahku, sampai ratusan bahkan ribuan alumni masih mengenang Bu Mita, terbukti pada saat tanggal kelahiran bu Mita, puluhan alumni datang menyalami Bu Mita, ditambah lagi suara dering nada Handphonya yang menada di sapanjang hari, pertanda ratusan sms masuk, dan panggilan langsung, kayaknya semuanya mengucapkan selamat ulang tahun pada bu Mita, terlihat dari kalimat “ya terimaksih, amin, doakan ibu ya” respon bu Mita bagi yang call saat itu.
          Ku beranikan tuk mendekati beberapa temanku, aku tak ada tujuan khusus, memang,  aku ingin mendapatkan info tentang bu Mita, keinginan inipun muncul secara spontan setelah aku mengadakan dialog kecil bersama dia. Hatiku tetap bertanya-tanya sembari ragu, kenapa ya bu Mita dapat membaca roman mukaku, “apa bu Mita punya indra ke 7, layaknya para normal, ah masa bodoh”.
          Guru wanita di sekolahku tidak hanya bu Mita, masih ada 12 lagi guru yang mirip bu Mita, tapi karakternya tak seperti Bu Mita, dia adalah bu Umawati, guru mata pelajaran moral di sekolahku, bu Uma memiliki postur tubuh agak gemuk dan tinggi sedikit dibanding Bu Mita, bu Uma bisanya mengajar di kelas D pada hari selasa, kelas sebelah di mana bu Mita mengajarku.

“Mas, mbak,e. .mas . .., mbak . . .” sapaku kepada enam siswa kelas C yang lewat di depanku, sambil terkejut malu mereka ku panggil. “kok tidak masuk mas” tanyaku dengan lancang seperti guru menegur siswanya. “gurunnya ndak ok” serempak jawabnya. Aku jadi ingin tahu lebih jauh dari ungkapan tersebut. Siapa guru yang tidak disukai oleh siswa di sekolahan itu.
e. . .e . .. ternyata “Bu Umawati” cletuk siswa berambut panjang berbadan langsing, tingginya sekitar 165, kulit putih bersih, “ tau aja lho” saut 5 teman lainya.
          Cerita punya cerita, bu Umawati sosok guru yang agak sangar, jangankan peduli, senyum aja hanya dikulum, tambah lagi gayanya agak sewot, mengenggam air tak pernah tumpah.
Para siswa mengatakan “adanya hari senin aja setiap seminggu”, “apa itu ” tanyaku. Akupun merasakan yang sama ketika bu Uma mengajar di kelasku, kelasku kayak penjara, bak neraka dunia. gerakanku dipantau terus dengan sorot mata seperti elang mau menangkap mangsa, waktu aku kurang paham dengan penjelasanya, kucoba angkat tanganku sambil bertanya, malah dijawab ”maka dengarkan jangan ngelamun mlulu” kalimat bu Uma yang keluar dari kerasnya hati plototan mata, yang membuatku malas tuk belajar bersamanya, nasib itupun dialami teman-teman yang lain.
          Untungnya, aku punya bu Mita, yang kuanggap mampu menyinari suram, buram,  dan  kelabu mendung tebal hatiku. Kedatangan bu Mita sebagai matahari di malam hari, dirindukan beribu bintang di langit tinggi dan luas. Acap kali teman-temanku terbentur problem, seseringkali mengakrabi Bu Mita, pokoknya tiada hari tanpa bu Mita, tiada hati tanpa bu Mita . . . ?
          Begitu mulia guruku, anggun, lembut penuh kasih sayang. . . .! nampak tegar, sumunar dan kayaknya tak pernah menyimpan duka derita.
          Suatu hari menjelang 30 menit istirahat, aku berjalan menuju kamar kecil untuk buang air, kulihat bu Mita termenung menyendiri sesekali mengusap mata dengan sapu tangan berwarna biru bergris coklat, dibuka lebar, dilipat lalu diusapkan ke dua matanya. Aku berhenti sambil memperhatikan dibalik kaca cendela.
          Eeeeeeee ……….eeeeeeeee ternyata bu Mita menangis sampai dua matanya mbendul-mbendul. “ada apa dengan bu Mita” kata hatiku “apa ada masalah keluarga”
Ya jangan-jangan bu Mita habis perang Mulut.
GAK TAULAH ITU URUSAN PRIBADI…………….IRONI KAYAKNYA DIBALIK ACTING.
          Semoga hanya aku yang tahu, kasihan . . .?”
          Jangan sampai teman-temanku tahu . . .?”

Ternyata di balik kecenthilan bu Mita mengulum cemas.
tak ada yang sempurna di dunia ini. Aku pernah mengambilkan potongan kertas yang jatuh dari saku bu mita, coba ku intip kecil coretan-coretannya. Beberapa kata rakitan yang ku ingat, dan ku pastikan itu tulisan bu Mita. Kenapa karna aku hafal sekali model tulisannya.

Aku adalah tanah subur terhambar di blantara luas,
Tak terbendung oleh alas pembatas
Tumbuhan begitu riang, liar dan buas,
Sayang. ......
Sinar Mentari tak sering menembus,
Yang tumbuh taklama menjadi aus
Aku tak butuh pupuk penyubur
Aku rindu akan sinar penghibur.

RATAPAN

Apapun yang terjadi,
semua sudah terjadi
aku menjadi
kau menjadi
terjadi dan terjadi
sampai mati tetap terjadi,
tak mungkin dapat dipungkiri
diingkari
LINGKARAN
GENGGAMAN
tak mungkin kita lepas
tak mau aku melepas.
sampai darah penghabisan, darah....darah...daaraaaaaah pertaruhannya.

POEM

The year when I fall in you
Samapai kapanpun ku pertahankan
the last blood, that can sparate us
died that can separate us.

Dengan Sadar n sepenuh hati kukatakan
 * DEMI ALLAH* I L'V YOU FULL . . .
TAKUT KEHILANGAN MAS.

DEMI ALLAH MAS FA PUN DAH 100%
KENAPA MAS RAGU?

Sabtu, 19 Maret 2011

ARTICLES IN ENGLISH


Teaching English to Young Learners
Using Games

By Luqman


Abstract
As a Mater a fact / that/ young learners like games so much, English elementary school teachers who teach young learners, ought to consider using game in their  teaching and learning English. By using games, the young learners can practice not only their skills (listening, reading speaking and writing) but also supported by mastering the language components (vocabulary, grammar, and pronunciation). Furthermore, in order to get good results, the teachers should carefully plan teaching and learning activities based on the games that they want to use.

The teaching of English in elementary schools in Indonesia have developed  very rapidly in the last few years. Many elementary schools in Indonesia start teaching English to their students even from the first grade. Some teachers  have  decided to use course books available in the bookstores, or take some course books, or even make their own materials. So from the chosen materials, the teachers will plan some language activities to be applied in the classrooms.
To get good result in teaching English to young learners, the teacher must be creative. He/she should create many kinds of teaching media and technique, such as songs, stories, games, pictures and cards. They are needed because young learners have their own characteristics-biological, cognitive, affective, personality, and social characteristics that are different from teaching high school students and  adults.
(Halliwell, 1992, 2) stated that language lessons at elementary schools are expected to give high priority to promoting positive attitudes toward learning the target language. In this case, the writer of this paper offers elementary school English teachers the idea of planning language activities using games.



The reason for using games
It is worth considering that an English program for young learners has various kinds of materials, such as stories, songs, reading text and games. It is essential that an EFL teacher to be able to select materials or textbooks. Teaching words to young learners is not enough. Let them play with language. The teacher can make full use of short phrases or sentences. These pieces of language should be accompanied by other parts of language non-verbal or body language. In this case, Scott and Ytreberg (1992) explained that to use other clues to get meaning is important. They mention that facial expressions and movements are often used to accompany spoken words.
Young learners like doing things, so playing game is one of the way in teaching them. In applying games, for example, the teacher can use many kinds of  games that are suitable for the learners. 
The most important factor to be considered in teaching English to children need to use it through hands-on experiences and many  manipulations of objects in the environment, they like to be in a class which involves them involves them in physical activities; such playing games and acting out.

The important things should be considered (using games)
-         Games have several functions; they are used to introduce new materials, repetition, and strengthening.
-         Games should be selected based on the age and ability of the students.
-         Try to use target language in playing games.
-         Not to long (10 –15 minutes)
-         Involve all the students
-         The rules and instructions must be clear and followed by example.
-         Games should train the function of the language and vocabulary that become the instructional goal.
-         Games are to be found at the fluency-accuracy spectrum
-         Games should be regarded as an integral part of the language syllabus, not as amusing activity for Saturday afternoon or for the end of the term.
-         Games make use a variety of techniques, variety is important in language teaching, and succession of games based on the same principles through exiting and novel at first, would soon pall.
In this case, there are many kinds of games that can be applied. The teachers can choose the games freely. But they must consider the above requirements. Here is a list of classroom techniques and games that can be used for pre-reading/telling or follow up activities. (Description and/or examples are provided for less popular ones).
1.      Sentence Building Game
E.g. Student A: My mother went to the market and bought an apple.
Student B: My mother went to the market and bought some apples and  bananas.
Student C: My mother went to the market and bought some apples,  bananas and  coconuts.
2.      Guessing game: Twenty questions
E.g. one student hides an object found in the story/ reading text; the rest of the class asks question to make a guess.
3.      Talking about pictures (pre reading/ telling activity)
4.      Word Bingo
5.      Memory games – picture
E.g. Students are given  pictures to look at for about a minute. Later they are asked to tell what they remember without looking at the pictures.
6.      Memory games – story
7.      Finding your partner
E.g. there are two sets of cards. One set consists of pictures and the other consists of descriptions of each of the pictures. Students move around to look for their partners.
8.      Simon says
9.      Vocabulary/phrase/ sentences snap (a card game).
A set cards with one word on each card are put face down. There are four cards for each word. When two cards are opened and they happen to contain the same words, the groups of the students playing the game say “Snap”. He group who says it first keeps the cards. The group who gets the most cards is the winner.
Note: The teacher can decide to use words or phrases or sentences depending on the students’ language level.
10.  Pelmanism
E.g. matching picture-picture, word-word, word-sentence
11.  Writing descriptions of pictures
12.  Letter/note writing
13.  Role play
14.  Finding differences and similarities
15.  Singing songs
16.  Strip story
17.  Word maze/word search
18.  Word chain
19.  Cross-word puzzles
20.  Dictation
21.  Cloze-dictation
22.  Dictocomp
23.  Writing booklets
24.  Writing notices
25.  Writing dialogs
26.  Writing a short drama
27.  Writing descriptions of characters
28.  Writing utterances in bubbles
29.  Origami (paper-folding)
30.  Drawing pictures
31.  Last letter (“Shiritori” in Japanese)
The last letter of the word must be the first letter of the next word.
You will need a ball, but a screwed up piece of paper is fine.
The teacher throws the ball to one student and says a word, such as “dog”.
The student must reply with a word starting with “G”, such as “girl”.
When answered, the ball is thrown back to the teacher and it is then thrown to the next student, who continues.
The consequence may then be (for example): girls, look, king, go … and so on.
You can have the students throwing to each other.
I.e., student A= “Cat,” throw to student B: today etc.
Please be warned, you may have some fastball pitchers in the class!
32.  Chinese whispers
Divide the class into even rows.
The last member of each row (at the back of the class) is taken out of the classroom. A “key” letter, word or sentence (depending on level) is given.

 The students run back inside, and whisper the Key” to the next student in their row. It is whispered down trough the row until the last member writes it on the board.
The first student to write it on the board correctly wins the point for their team/row
33. Fast words
The class is arranged in rows. The first person in each row is given a piece of chalk. The board is divided into sections. No more than six teams.
The teacher calls a letter and the students must write as many words as they can begin with that letter, in the allocated time. Their team-mates can call out hints, but he warned, this is very noisy.
Next, the second member gets the chalk and goes to the board and the teacher calls out a new letter.
The team with the most correct words is the winner.
33.  Word Association
 The teacher starts the game by saying a word, such as “Hotel”.
For example:
Teacher: Hotel
Student A: Bed
Student B: Room
Student C: Service
Student D: Food
Student E: Restaurant
Student F: Chinese

As you can see, any association is ok.
If the student cannot answer in 5 seconds,  he or she must stand up. The last student seated is the winner.
If the association is not obvious, the student is asked to explain the association.
Songs/Music Cloze
Songs are a good way to teach in an “Edutainment" way because they incorporate all the language skills
1.      Listening (to the song)
2.      Reading (following the lyrics to determine the words)
3.      Writing (filling in the blanks)
4.      Speaking (singing the song)
Lower Level:
1.      The song sheet is handed out to the students.
2.      The teacher reads each word (at the bottom of the page) and the students repeat. This is done twice.
3.      The tape is played twice in a row, with the students trying to fill in the blanks.
4.      The students are invited to discuss it with their classmates for one minute.
5.      The song is played again and students complete the missing words.
6.      The teacher calls out the correct words. The students mark their papers themselves with a red pen, and record their scores.
7.      The students with a perfect score receive a round of applause.
8.      The song is played, one last time, with everybody singing.


Medium Level:
The same system is used.
However, for the first playing the words are folded under, as shown on the song sheets.
Only at the second listening, are the words revealed.
Note: You can have a lot of fun seeing what the students come up with, before they are allowed to see the correct words.
Higher Level.
Complete sentences are deleted (liquid paper?), so more words must be recognized.
The words are folded under for the entire listening while the tape is played.
Only after all the listening are the correct words revealed.
With a little experience, the teacher will easily be able to adjust to the level of difficulty required.
The songs have been chosen for their pronunciation and because they are familiar to most students.

Variety in the types of songs, for instance, rock, ballad and so forth, is supplied.
                 The song sheets (lyrics) have been made for the lower levels, and need to be modified for higher levels.
Sample Song:
(Name:________________________)
"Bus Stop" (1)
(The Hollis) Bus Stop, wet day, she's there,
I say, please share my _________________________ (1)
Bus stop, bus goes, she stays,

Love grows, under my umbrella

All that summer we enjoyed _________________________ (2)
Wind and rain and shine
That umbrella, we employed it
By ____________________ (3) she was mine
Every morning I would see her waiting at the __________________(4)
Sometimes she'd shop
And she would show me what she _______________________ (5)
All the people stared
As if we were both quite insane

Someday my name and hers are going

To be the ______________ (6)
That's the way the whole thing ______________(7)
Silly, but it's ____________________________ (8)
A thinking of a sweet romance
Begin and end with you.
Came the sun the ice was melting
No more sheltering ______________(9)
                                 _______________________ (10) to think that that umbrella led me to a vow.
(**Chorus)
Your score ______________ /10
‑‑‑‑‑‑‑ Fold here, for the first listening at higher levels ‑‑‑‑‑‑­
now, stop, nice, August, true, bought, it, same, umbrella, started
Let It Be (Lennon, McCartney)
When I ____________ (1) myself in times of trouble
Mother Mary _______________(2) to me
Speaking ___________(3) of wisdom, let it be.

And in my ____________ (4) of darkness

She _______ (5) ___________ (6) right in front of me

________________ (7) words of wisdom, let it be.
Let it be, let it be.
_____________ (8) words of wisdom, let it be

Then, the next thing for the teacher to do is choose the best activities that match the students age and level, that are not time-consuming, and that do not need expensive instructional media.

Conclusion
There are a number of children’s  games that can be used by elementary-school teachers of English. What the teacher should do is finding  appropriate games, making some preparation, and later coming to the classroom well-prepared to use the games. It is hoped that the students will benefit from what the teacher does: they will enjoy the games, have some fun  with the follow-up activities and at the same time, learn the language.











Bibliography

Hadfield, Jill. 1984. Elementary communication games. Thomas nelson (Hongkong) Ltd
Halliwell, Susan. 1992. Teaching English in the Primary Classroom. London: Longman.
Free Sample Edutainment games. December 11th, 2002 from: http:// www2.gol.com/users/language/games. html



















TEACHING  READING COMPREHENSION USING COMMUNICATIVE APROACH  FOR ELEMENTARY  SCHOOL STUDENTS
By  Luqman
 A. Introduction


The teaching of English in elementary schools in Indonesia have developed very rapidly in the last few years. Many elementary schools in Indonesia start teaching English to their students even from the first grade. Some teachers have decided to use course books available in the bookstores, or take some course books, or even make their own materials. So from the chosen materials, the teachers will plan some language activities to be applied in the classrooms.
Communicative Approach in teaching English to Elementary School students has been introduced to alleviate problems and difficulties found in the implementation of the  Competence Based Curriculum. In GBPP 2004, the language teaching emphasizes on the interrelationship of skills. Reading ability will be developed best in association with writing, listening, and speaking activities. Even in those courses that may be labeled “reading” your goals will be best achieved by capitalizing on the interrelationship of skills, as specially the reading-writing connection.
To get good result in teaching English to young learners, the teacher must be creative. He/she should choose method, Approach, technique and create many kinds of teaching media, such as songs, stories, games, pictures, cards etc. They are needed because young learners have their own characteristics-biological, cognitive, affective, personality, and social characteristics that are different from teaching high school students and  adults. Halliwell, (1992, 2) stated that English at elementary schools are expected to give high priority to promoting positive attitudes toward learning the target language.
In this case, I offer elementary school English teachers the idea of teaching Reading Comprehension using communicative Approach to Elementary school students. Including,  How To Apply Communicative Approach  In Teaching Reading Comprehension.

B. The Components of Communicative Approach

Communicative language ability consists of language competence, strategic competence, and psycho physiological mechanisms. Language competence includes organizational competence which consists of illocutionary and socio linguistic competence. Strategic competence is seen as performing assessment, planning and execution functions in determining the most effective means of achieving a communicative goal. Psycho physiological mechanisms involved in language use characterize the channel (auditory, visual) and mode(receptive, productive) in which competence is implemented.” (Bachman 1990)
         Here, language competence is considered to be knowledge and skill which is needed to operate language system, to determine the meaning,  to use the language based on the context and sentence. While communicative competence has come to capture a multiplicity of meanings depending on who you ask, it is nevertheless a useful phrase. In its skeletal form, communicative competence consists of some combination of the following components:
1.      Organizational competence
2.      pragmatic competence
3.      strategic competence and
4.      psychomotor skills
The array of studies on communicative competence provides what is perhaps the most important linguistic principle and teaching. Given that communicative competence is the goal of a language classroom, instruction needs to points toward all its components: organizational, pragmatic, strategic, and psychomotor. Communicative goals are best achieved by giving due attention to language use and not just usage, to fluency and not just accuracy, to authentic language and contexts, and the students’ eventual need to apply classroom learning to previously unrehearsed contexts in the real world.
C.  The Characteristics Of Communicative     Approach
There are six characteristics.

1.      Classroom goals are focus on all of the components of communicative competence and not restricted to grammatical or linguistic competence.
2.      Form is not primarily framework for organizing and sequencing lessons. Function is the framework though which forms are taught.
3.      Accuracy  is secondary to conveying a message. Fluency may take on more importance than accuracy. The ultimate criterion for communicative success is the actual transmission and receiving of intended meaning.
4.      In the communicative classroom, student ultimately have to use the language, productively and receptively, in unrehearsed contexts.
5.      Students are given opportunities to focus on their own learning process through an understanding of their own style of learning and though the development of appropriate strategies for autonomous learning.
6.      The role of the teacher is that of facilitator and guide, not an all-knowing best tower of knowledge. Students are therefore encouraged to construct meaning through genuine linguistic interaction with others.
D. How To Apply Communicative Approach  In Teaching Reading Comprehension
a.      The syllabus (1994)
Basically the 1994 English syllabus is a revised version of the 1984 English syllabus. In developing this syllabus, it considers experiences gained in the implementation of the previous syllabus, it strengths and weaknesses, the expectations and needs of the community, and current trends in science and technology.
The 1994 English syllabus adopts a variable focus model of communicative syllabus which employs structures, notions, and functions as the guiding principle of organization. The main objective of the teaching is the development of reading skills. To achieve this objective, one or more aspects of the syllabus may be given emphasis depending on the need and level of the student’s proficiency.
Examining the introduction to the 1994 English syllabus and the draft of the guideline to the senior high school textbooks, we find that the approach is a communicative approach which has been redefined to suit English teaching situations in Indonesia.
b.      Teaching Reading activities
b.1. intensive and extensive activities
Silent reading may be subcategorized into intensive and extensive reading, analogous to intensive listening is usually a classroom oriented activity in which students focus on the linguistic or semantic details of passage. Intensive reading calls students’ attention to grammatical forms, discourse markers, and other surface structures details for the purpose of understanding literal meaning, implications, rhetorical relationships, and the like.
Extensive reading is carried out to achieve a general understanding of a usually somewhat longer text (book, long article, or essays, etc.) most extensive reading is performed outside of class time. Pleasure reading is often extensive. Technical scientific and professional reading can, under certain special circumstances, be extensive when one is simply striving for global or general meaning from longer passages.
b.1.1. Intensive activities
-          match nouns and verbs
-          split sentences
-          make summaries
-          fill the gaps
-          take sides
-          select a summary
-          compare versions
-          identify facts
-          matching
b.1.2.extensive activities
-          keep records
-          wall charts
-          make summaries
-          indicate the difficulty

b.2. Scanning and skimming Activities
      b.2.1. scanning activities
-          find new word from old
-          locate grammar features
-          find a specified advertisement
-          compare details
-          check dates
-          shopping lists
-          newspaper headlines

b.2.2. skimming activities
-          find and compare events
-          select a title
-          create a title

c. Reading activities and the lesson plan on reading








LESSON PLAN ON READING
Level of education : Elementary school
Subject                   : English
Theme/Title           : Tourism object/ Sedudo waterfall
Core material         : Description text related to theme
Class/term              : 1/1
Time allocated       : 1 X 45 minutes   

A. COMPETENCE
1.      Basic Competence
To find the main ideas
2.      Achievement indicators
a.    Process Objectives ( While reading activities ) students are able to
-          find out the topic sentences
-          find out the main ideas
-          find out the supporting sentences
b.      Attitude Objectives ( post-reading Objective)
After the lesson, the students have ability to :
-          to make a summary of the text

B. LEARNING RESOURCE
1.      Get Ready For Begginers
2.      Blessing English for Elementary school
3.      Students’ worksheet
C. TEACHING AND  LEARNING ACTIVITIES
1.      Method/Approach / Technique
         -     Direct Method
-          Communicative Approach
-          Oral question and answer
-          Discussion
2.      Class Activities
a.       Pre-Reading Activity (10 minutes )
-                     to arouse the students’ interest in the given topic by letting the students answer the leading question orally
b.      Whilst-Reading activities
-                Have the students Understand the surface problem
-                Have the students Read the text quickly
-                Have the students Answer the question on surface problems
-                Have the students read between the lines
-                Have the students answer the deep problems
c.                Post- reading  activities
-                Reviewing all aspects of English Introduction
-                Home work

c.       Material

THE PURPOSE OF SCHOOL
Task 1 : Pre-Reading
1.      look at the picture
2.      What picture is it?
3.      Is There a mountain in your town?
4.      Are there some tourisms object in your town?
5.      Do you have ever been there?
               Task 2 : Whilst-Reading                  
Answer these questions based on the text!
1.      What is the first Javanese’s month?
2.      Is there a special event in “Suro”? mention it!
3.      How can we get there?
4.      Is there a hotel?
5.      What can we enjoy along the way to Sedudo?



    Read the text carefully
Sedudo Waterfall
The first month in the year is January, but the first month of Javanese is “ suro”. What is a special on “Suro”? Bathing under under the waterfall on “Suro” is  special. We always look young forever. Most of People of Nganjuk believe it. So,  On “Suro” they like to go to Seduda Waterfall. They want to have a bath under the waterfall. And they want to become young forever.
Sedodo is at about 30 kilometers south of Nganjuk City. We can go there by motorcycle, car or the”Angdes” from Nganjuk City. Along the way to Sedudo we can enjoy a good scenery and evergreens forest. We can also stay in a hotel. There is a hotel near Sedudo. It is Sanggrahan Hotel.
Task 3 : Post Reading
Answer the following question and discuss your answers with your friends.
1.      Tell the story about Sedudo! Not less than 25 words
2.      What do you expect after taking a bath?
3.      Why do most of people of Nganjuk Visit to Sedudo?
4.      What are the interesting places in Sedudo?
5.      What is the name of Mountain?

E.  Conclusion
      From what have been discussed, we can draw a conclusion that communicative approach is designed to develop communicative competence adopted in the 1984 syllabus. They basically adopt functional-notional syllabus.
The 1994 English syllabus is different from  the 1984 English syllabus in that it emphasizes integration of components in the organization and presentation of  materials. The syllabus is basically a semantic syllabus, but it attempts to give a certain rate of presentation of the syllabus aspects.
SMU students are supposed to acquire : 1. basic communicative competence in all four language skills and in particular to develop the skills of effective reading 2. a base of fluency  and accuracy which should enable school graduates to;
-          benefit from tertiary and/or specialist training
-          operate effectively in occupational or social situation involving the use of English.

              

References

Aries, Furqanul. Dan Alwasilah, A. Chaedar. 1996.  Pengajaran Bahasa Komunikatif. PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Lewis, Michael and Hill, Jimmie. 1999. Practical Techniques for Language Teaching.  Monash  University.
Brown, H. Douglas. 2000. Teaching by Principle and interactive approach to language pedagogy. San Francisco State University.
Wahab, Abdul. Dan Lestari, Lies Amin. 1999. Menulis Karya Ilmiyah. Air Langga University Press.
Tim Bina Karya Guru, 2003. Get Ready for Begginers. Erlangga. Jakarta.
Tim Penyusun LKS, 2005. Blessing English for Elementary school. Gajah Media Nganjuk.
        Halliwell, Susan. 1992. Teaching English in the Primary Classroom. London














LEARNING TO TEACH TOGETHER,
TEACHING TO LEARN TOGETHER


The growing recognition that the knowledge base of effective language teachers includes not only linguistic and pedagogical theory, but also the wealth pf their individual experience, has led to reconsideration of the role of reflection in teaching and teacher education. Reflection has the power to help the teacher connect experience and theoretical knowledge in order to use each area of expertise more effectively. Teaching is complicated, large-scale, hard to define, and close to the soul (Duckworth 1987). Though the reasons for our decisions and action as teachers are within us, it is often difficult to articulate how we know what we do when we teach. Without reflection, teaching is guided by impulse, institution, or routine (Richards 1990), and subsequently kept within the realm of tacit knowledge. Shulman (1988) called for teacher educators to help learners make this tacit knowledge explicit through reflection upon practical experience and theoretical understanding. Collaboration is a powerful vehicle for exposing and developing knowledge of teaching.
Collaboration – shared responsibility inside and outside the classroom – gives teachers an opportunity heightened reflection. The need to synchronize teaching acts requires team teachers to negotiate and discuss their thoughts, values, and actions in ways that solo teachers do not encounter. The process of having to explain oneself and one’s them, forces team teachers to find words for thoughts which, had one been teaching alone, night have been realized solely through action. For these reasons, collaboration provides teachers with rich opportunities to recognize and understand their tacit knowledge (Polanyi 1966). We believe that collaborative teaching merits further exploration as a means of learning about teaching.
We are students of the teaching of languages. Both of us came to language teaching from similar preteaching interests: politics and social change. We were both interested in public service but were frustrated with our job at the time. For us, teaching was a marketable career choice that also fulfilled a need to be a part of a multicultural, international community. In May 1992, we completed coursework for a Master of Art in Teaching (MAT) degree in English and Spanish at the School for International Training (SIT) in Brattleboro, Vermont. There, the faculty challenged us to explore and reflect upon our knowledge and beliefs about teaching and learning. They led us to work out our own thoughts about teaching and learning. Throughout the year, we began to develop an awareness of the processes through which we learn and teach. In turn, this knowledge has helped us to make more critical, rational teaching decisions.
During the second semester of our coursework, we were hired to team-teach an undergraduate-level Spanish class. The joint responsibility and experience of teaching our own class gave us many shared experience which became stories. We told these stories to each other, to our colleagues, and to our students. We told them for comic relief, we told them the share our joy and pain, and quite often, we told them because we wanted to make sense of something that had happened. Each “telling” of a story gave us an opportunity to reconsider events and interactions that had happened both inside and outside the classroom. We reconsidered our thoughts and actions. We questioned what we might change in ourselves in the future. Telling our stories to our colleagues often resulted in dialogues about teaching issues which we were all working to understanding. We became aware of how the telling of the stories helped us to think and talk about teaching.
In this chapter, we relate two stories from our team teaching experience that led us to new understandings of teaching and learning. As background for the stories, we first introduce our teaching context: our class and the graduate program which influenced our thoughts about teaching. The first story illustrates our planning process. Through a story about the development of lesson plans around a Mexican poster, we came to recognize the benefits and patterns of our collaborative planning. In the second story, we replay events that occurred within a brief time frame in order to examine a series of spontaneous decisions that guided our classroom behavior. As we analyze the steps in our responses to this situation, we show how working with a teaching partner can help make more critical, rational decisions in the pressures of the moment. In conclusion, we assess the effects and benefits of collaboration in the development of our overall understanding of teaching and learning.

The MAT program and the class we taught together
In many ways, our class provided an ideal teaching situation. It consisted of nine students from all programs at SIT and one professor from the MAT program. All learners were highly motivated; they were studying Spanish out of a personal interest, and most had traveled to Spanish-speaking countries. The diversity of proficiency levels in the group, from advanced beginner to high intermediate, presented us with the challenge of creating multilevel lessons in which all students world be learning.
On a deeper level, the students contributed some interesting dynamics not usually found within a language classroom; six students were our classmates from the MAT program. As classmates and colleagues, we were all wrestling with new ideas and our evolving understanding of teaching, and they were as eager to look at their learning and our teaching as we were. Spanish class gave us a common experience which supplied a background of mutual understanding on which we could “project” our remarks (Dewey 1933). MAT coursework gave us a shared professional discourse to use in understanding the class (Freeman 1991).
The presence of a faculty member in our class created another unique teacher-student dynamic. At first, the prospect of teaching a faculty member seemed daunting; however, we quickly realized the benefits. He played an important role in coaching (Schon 1987) our teaching by helping us think through our plans, by giving us useful feedback about our teaching, and by talking with us about how he was learning. He spoke using the terms, language, and ideas that the MAT program had been teaching us, and this helped us relate our experiences to the pedagogical theories we had been studying.
Logic dictates, and research substantiates, that we are in many ways products of education. It follows, then, that we teach as we were taught (Goodlad 1983). Each student beginning a teacher preparation program brings a legacy or experience of schools and schooling with him or her. Memories of foreign language study in school, as well as experiences in living abroad, in our case, served as our “apprenticeship of observation” (Lortie 1975). A concern of many graduate teaching programs, including our own, is to work with this diverse experience base that students bring to their studies. The MAT program stressed the value of critical thinking and reflection; it encouraged us to become “reflective practitioners” (Schon 1987). It helped us expand our knowledge by giving us not only a new language to use but also a framework with which to reflect on teaching. It has been argued that, when teachers are encouraged to reflect critically on their teaching, the quality of their work experience is improved dramatically (Gomez and Tabachnick 1992). By learning to reflect, we were able to begin to transcend the paradigms we had developed during our years of language learning.
Being in the MAT program enabled us to reflect upon our teaching. It gave us language with which to describe the interactions and experiences we were having as teachers. We used these new tools in examining our mutual experience of teaching together. We found storytelling to be a powerful method of reflection because it was a natural way of bringing forth and exploring tacit knowledge. Through telling our stories together, we came to know about our experiences in new ways. Consequently, we developed new insights into teaching. The following stories focus on two aspects of teaching: planning and decision making.

Collaboration in planning
Planning is a critical part of teaching, and teachers plan for several reasons. Planning can help to reduce uncertainty and to create a sense of direction; further, it can promote confidence and security. Planning can be a means to the end of instruction, serving to direct what happens. It is a time to establish both long and short-term instructional objectives and to evaluate progress toward those goals (Clark and Peterson 1986). As team teachers, we found four additional reasons for planning together:
-          To coordinate our actions and build a team identity
-          To think through techniques for organizing the events of a class period
-          To practice reflective dialogues
-          To think creatively
In this way, planning, for us, was the time to shape a vision of our class.
The potential for creative thinking in collaborative planning was exciting because the joint product was greater than what we might have created individually. We each grew to appreciate the imaginative capabilities of the other as we bounced ideas back and forth. There was an element of adventure in exposing an idea to our co-teacher; we never knew where and how it would end up. There was room in our process for off-beat suggestions, as well as for elaboration of more rational possibilities. In order for one partner to work with the other, each of us had to clarify our statements and our reasoning more than we might have if we had been teaching alone. In this way, collaborative planning gave each of us a venue for a more through expression of our own ideas as well as the opportunity to work with our partner’s contributions. Within this process, our evolving understanding of teaching emerged. The following story illustrates our planning process and highlight the creative thinking techniques and modes of communication that facilities our work together. The disciplined of forming this and the next story helped us bring our tacit understanding of teaching to light because it forced us to reach for insight into why events, ideas, and processes unfolded as they did.
Teaching teams often divide planning responsibilities among members, with each person being responsible for planning a section of the class period. However, we decided to plan the entire class period together throughout the semester. On average, we spent four hours per week together preparing for four hours of class. We had to be, and become, comfortable with our surroundings and with one another. We varied the routine by working at one of our homes, a local café, or a favorite restaurant. While enjoying a snack and the atmosphere, we chatted about the trials and tribulations of the week. Discussing these issues allowed us to get to know each other and gave value to our lives outside our work. We began to understand the feelings, thoughts, and ideas that each partner brought to the planning session. Talking about “life issues” also helped each of us to prepare ourselves for work by freeing our heads from these thoughts. Consequently, we were better able to focus on lesson planning. Being in a comfortable environment and taking the time for some personal discussion was a ritual that created a secure atmosphere in which to work. We acknowledge, however, given the busy schedule of today’s teacher, that luxury is not always possible.

Finding a focus
One spring afternoon, one of our students showed us a Mexican social science poster from the early 1950s. the poster was designed to warn readers of potential accidents that could occur in the workplace. It had thirteen vivid and somewhat gruesome drawings of accidents including an explosion in a dynamite factory, a butcher with his hand caught in a meat grinder, a train derailment, and a cowboy being thrown by a bull. As serious as the accidents were, we were amused by the carefully constructed details of each drawing and by the humorous titles beneath each one. For example, the explosion in the dynamite factory was entitled “Infrequent accidents,” and beneath a picture of cargo falling on dock workers the caption read “Rare accidents.” The artist cleverly contrasted “Accidents in the countryside” (falling into a well or getting stuck in barbed wire) with “Accidents of the countryside” (being thrown by a bull or being kicked while milking a cow). As we were chuckling, we realized that we both wanted a copy of the poster. We asked to borrow it, and our student agreed. As we were leaving, Mary said, “Wouldn’t it be great to use this in our class?” Anne agreed. “How” was the question we began to answer in our next planning session.

Brainstorming
The first step in our lesson-planning process was brainstorming. Based on deferred judgment, brainstorming produces a creative atmosphere, encourage fanciful thinking, teaches receptive attitudes, and asks participants to consider many alternatives (Davis 1987:57). We worked to consciously create just such a cushion for each other’s ideas. We began bouncing ideas back and forth in an attempt to put as many suggestions as possible on the table. We tried to include ideas that addressed different skill areas and kept within the broad parameters of the presentation-practice-use model for setting instructional goals that we had learned in the MAT program.
With the Mexican poster, we thought of using vocabulary exercises, matching games, and descriptive writing. We refrained from judging the ideas. Instead, we helped each other express them more fully by asking questions to clarify and expand statements made. “What do you mean by a guessing game? How do you see us introducing the activity? Where do you see the activity leading?” were typical guiding questions. They helped to open communication between us, expand our thoughts, and bring us to a similar vision. Learning to express our ideas to one another and to as nonjudgmental questions gave us a broad base from which to begin our teaching. Attitudes of open mindedness and flexibility toward the other and her ideas were essential at this point. As Bateson points out, “For complementarity to be truly creative, it is not sufficient for need to run in both directions; it is necessary to acknowledge that both contributions are equal value and that both are freely given” (1990: 100). In order for our planning sessions to be successful, we both needed the opportunity to develop our ideas and make meaningful, creative decisions.

Narrowing the options
As we found ideas that we liked, we began to negotiate the choice of a theme. Critical-thinking and decision-making skills came into play in this phase. We tried to make decisions by consensus; layer upon layer of possibilities would be added and removed as we refined our ideas in order to arrive at a shared vision. For this lesson, we both agreed that descriptive writing about the accident or victim was a good direction to take. But this seemed limited. Next, we focused on the idea of a character study; but what, then, would tie the characters together? What would be the purpose of writing such a description? At this point, problem-solving skills helped us find and test alternatives.
Mary remembered an exercise she done in another context. During college, she had participated in an activity in which each person was asked to create a character sketch of his ideal leader. Then, students came together in small groups to present their “leaders” and to decide which leader would be most appropriate for developing a community on another planet. It seemed as though the exercise might fit with the ideas we had been discussing. Suddenly, Anne had a golden idea.
Mary’s story reminded Anne of an award given annually by a senator from Wisconsin for the most wasteful use of  taxpayer’ money. This memory prompted a thought: An award! An award for the “stupidest” accident! The finalists for the award could be the people in the poster! The students in our class could create character sketches in order to compete for the stupidest accident award. We thus had a concrete theme that enabled us to refine the idea into a lesson plan.
We would ask students to describe the person in their picture and the events that had led up to the work accident. Then we would ask them to form a committee to decide on the winning story. We realized that the committee would need a name and so “The Royal Academy for the Appreciation of Klutzy Moves” was born. The students would become members of this “Academy,” and their responsibility would be to select and honor the winner. Toward the end of this flow of ideas, Anne recalled a term in Spanish used to describe a person who does silly things: pineapple head (cabeza de pina). This became the title of the award that was to be given by the Academy: the “Pineapple Head Award.” While the resulting task seemed off-beat, we believed that it would give the students a relaxed opportunity to learn and use Spanish in the classroom.

Developing and refining selected options
Once we had figured out the general flow of our lesson, we were able to focus on how the activities would develop. The idea turned into a two-day lesson plan. Day 1 focused on writing and reading: First, we let each student chose a picture to work with. The students then wrote about the character of the person in the picture and the chain of events which had led up to the accident. At this point, our role was to answer questions and help them in their work. After they had composed a story, we began a peer editing session in which they helped each other with the writing. At the end of the hour, we asked the students to bring their character sketches back to the next class, to present to the group.
On day 2, the focus shifted to speaking and listening. The students became the members of the Academy for the Appreciation of Klutzy Moves. Their task was to present the Pineapple Head Award to one of the characters. First, we split the class in half and had each student present his or her story to their “Academy.” Then, each group listened to the presentations, asked questions to learn more about each character and incident, and selected two semifinalists. Finally, the two groups came together, presented the semifinalists, answered questions, and selected a winner.
The culminating activity for the class was a regal ceremony in which the Pineapple Head Award was presented. The ceremony in volved an opening statement by the head of the Academy of Klutziness (Mary) and a guest appearance by last year’s recipient (Anne). After a brief introduction, the guest speaker, dressed in bandages and walking on crutches, told her wretched story and explained the picture of her accident. This model listening exercise gave the students an opportunity to hear the new vocabulary they had been learning. Next, the students presented their candidates for the award. After a period of questions and answers, we tallied the final vote. The celebration that followed included the presentation of the award and a snack of fresh pineapple.
We were interested to see how the lesson plan would be received by the students. We were pleased to find that we were able to follow our plan closely on both days. The activities seemed to provide the students with appropriate tasks and challenges. In this way, the students remained engaged and focused throughout both class periods. The students’ creativity and abilities were extraordinary; the stories they wrote were impressive. The winning story was about an ESL teacher who taught workplace ESL in a dynamite factory. While this teacher was using sticks of dynamite to diagram sentence structures, his former wife entered the room with a lit cigar, dropped hot ashes on the dynamite, and caused the terrible explosion seen in the poster.
When teachers-in-training are taught about lesson planning, they are usually introduced to the nations of objectives, of specifying content or what they are teaching, and of blending that content into appropriate activities (Freeman 1991b). The MAT program presented these ideas to us, but we were also asked to develop a meta-awareness of what we thought about when we planned. This broad approach to lesson planning assured a balance between trying out established planning formats and developing planning strategies to suit our individual needs and teaching styles. Our version of collaborative planning was representative of this approach. Elements of structure that we learned formally and then adapted for our personal use made the process our own. The development of the Mexican poster lesson showed how our unwieldy ideas became manageable as we shepherded them through a collaborative planning process. The steps included:
-          Finding a base to work from (e.g., the poster)
-          Brainstorming ideas
-          Narrowing options
-          Clarifying selected options
-          Brainstorming around these options
-          Deciding on a theme to link the ideas within the option
-          Developing a sequence to order the ideas
-          Fleshing out specific activities
-          Verifying logistical details of the lesson
Collaborative planning helped us both cognitively and interpersonally. Throughout the process there was a balance between “free-for-all” brainstorming and “give-and-take” negotiation of ideas between us. We worked to create a common understanding of ideas by asking questions and clarifying thoughts. Planning with a partner resulted in a more complete development of our ideas, and this led to more coherent lesson plans. We enjoyed planning together and often laughed at the thoughts that emerged. This laughter helped us explore and expand the limits of possibility in creating the lesson. Teaching seemed to be a perfect outlet for our creative thinking.
Perhaps the most important factor in the planning process was the respect and trust that we developed for each other. During the three months that we worked together, we came to genuinely appreciate the contributions the other made to our collective work. Because we had to develop clarity and precision of expression, our communication patterns improved and deepened. As a result, making the tacit explicit became easier. These dynamics enabled us to create our plan cooperatively and to enjoy the steps that led us to this goal. In a sense, we were building a team identity, and this image was crucial inside the classroom. The following tells a story of a series of interactions and decisions that occurred just minutes after we entered the classroom. In this situation, we faced every teacher’s nightmare: We arrived for class without the materials for the two-hour activity we had planned.

Collaboration in the classroom
The joys of planning together come to fruition inside the classroom, as the lesson unfolds. Despite careful orchestration, though, Murphy’s law dictates that nothing in life happens quite as planned. This truism applies to the classroom. Planning reduces, but does not eliminate, uncertainty about teacher-student interaction because classroom teaching is a complex social process that regularly includes interruptions, surprises, and digressions (Clark and Peterson 1986). Decision making is at the heart of the interactive stage of teaching. Often, these choices must be quick and spontaneous. It follows, then, that if we can understand the processes and motivations behind intuitive, instinctive decision making, we can gain greater control over our interactions in the classroom. Critical, rational decisions come from the teacher’s awareness of his or her decision-making process and its results (Orlich et al 1990).
Collaborative teaching provided us with an ideal opportunity to develop our critical, rational decision-making skills. By teaching with an other teacher, we had a model to observe in the classroom. We watched each other’s actions closely, and this focus was critical to our synchronization in the class. We considered one another’s classroom behavior both consciously and subconsciously. Often in reflection after the class, one of us would ask, “Why did you do X?” Through modeling, dialogue, and discussion, we worked to understand each other’s reasoning and motivation.
Within the classroom, team teachers are an invaluable resource for one another. There is a colleague within reach who can answer a question, confirm a hunch, suggest a new approach, and step in if needed. Collaborative teachers give one another reinforcement and feedback. In this way, a team is built. Our students commented that our teamwork was smooth. For them, it often seemed as if a single teacher was teaching the class.
Examining our reactions, thoughts, and feelings when faced with unexpected situations in the classroom provided us with a window into our collaborative teaching relationship. In the following story, we analyze a situation which occurred because we had to improvise the day’s lesson plan. There were split-second decisions that were made in order to teach the class and then our reactions after reflecting upon the afternoon. While we learned from this predicament, we probably would not have experienced the moments of tension had we been teaching on our own. Because, in the words of James Joyce, “man’s errors are his portals of discovery,” the value of this experience became clear to us only in retrospect.

What led up to the problem
To truly plan for the reality of teaching, we must learn to expert the unexpected. We usually did all that we felt was necessary to prepare ourselves in every way for each lesson. Sharing responsibilities pushed us to ask more questions and discuss details more thoroughly than we would have done as solo teachers. In our planning sessions, we talked until we both felt that we had a similar understanding of how the class would progress. Normally, at the end of our planning sessions, we would take a few minutes to summarize the decisions we had made regarding activities, materials, and details.
By this point in our team teaching experience, we had become quite comfortable with each other. We had established patterns in our interactions. Perhaps this ease allowed us to overlook the final planning step during the session prior to this particular class. We did not double check the detail of who would bring the student papers to class. The following shows our reactions to this crisis and our response to this unexpected lapse.
When the story began, we were entering the second half of a two day project using a children’s picture book, Tuesday, by David Wiesner. In this book, frogs have a magical ability to fly at night. The tale chronicles their adventures as they fly through town, dropping into homes, getting caught in sheets hanging on clotheslines, and commandeering TV remote controls. The book ends with a play on an idiom: the following Tuesday, pigs fly. We liked the book’s beautiful illustrations, off-beat humor, and its lack of written text. We thought that Tuesday, in its light-hearted style, would stimulate the students to use Spanish.
During the previous class period, we had laid the groundwork for Tuesday, presenting vocabulary for writing the story and outlining our schedule for the two-day project. Then we divided the class into three groups and gave each group the task of writing a text for one third of the story. To keep an element of surprise in the exercise, we asked the students not to look beyond their part of the story. Each group spent the rest of the period creating text for their portion of tale. Their work was to be used during the next class so we collected the writing at the end of the hour.
On the second day, we wanted the students to refine the texts they had created. They were to write their text on large paper and then go through a series of activities to correct and strengthen their work. Eventually we would have a final product created by the entire class. We planned to invite them to sit in front of the fireplace in the classroom, serve them cookies and milk, and have them read their parts of the story aloud. We thought that the humor of the situation would help them feel more comfortable as they shared their work by reading it aloud. It was a great plan, whose destiny, unfortunately, was not to be fulfilled that day.

The problem exposed
We were enthusiastic about the lesson to come as we entered the classroom and began setting up as usual. As Anne erased the blackboard music and Mary brought out sheets of newsprint to be used in rewriting the texts the students began arriving, and we greeted them enthusiastically, hoping that they would find the class as exciting and fun as we thought it would be.
Suddenly, we realized that neither of us had the student papers. Mary thought that Anne had them; Anne thought that Mary had them. Without the student papers, the class could not proceed as we had planned.

Responding to the problem: Improvisation
Given the dilemma, we began a mad scramble to come up with an alternative plan. If we wanted to work with the Tuesday book, we could ask the students to rewrite their texts. However, making the students redo their work because of our mistake seemed like a punishment. The fact that we did not have the students’ work also seemed disrespectful on our part, our individuality and our unique approaches to the crisis began to surface. We had a quick huddle in the corner of the classroom. The students were still arriving and greeting us as if it were a normal day. Mary felt pressure and panic. She did not want to let her classmates and professor down. She wanted the class to run smoothly, and she disliked public blunders. This, combined with trepidation about the immediate future, caused her stress. Anne approached the situation with a different mind-set. She was calm and intrigued by the potential for improvisation. She had confidence in Mary and faith that the class period was salvageable. To her, the situation was an adventure: It was a chance to try something spontaneous. At that moment, though, we had neither the time nor the inclination to discuss our attitudes.
Team improvisation, being together “on stage” in front of the class, can be difficult. Given our different feelings and mind-sets, we had a lot to balance in the few minutes we used to regroup and “plan” class. We had to consider alternative activities, our partner’s state of mind, and students’ needs. We had to listen to each other while simultaneously thinking on our own. Most important, we had to come up with answer quickly. Words failed us more quickly because we did not have time to use them properly. We barely had time to explain an idea, much less include each other in its development. Something had to give way in the balancing act. In order to focus more on thinking about a solution, Mary limited her listening to Anne to the point that she did not hear her suggestions, nor did she explore Anne’s ideas with her. This happened so quickly that words were a burden. Creating a similar vision of the class in both our minds seemed futile and impossible in this brief time.
Out of the depths of Mary’s panicked thoughts and Anne’s calm suggestions, an idea came. The plan needed little explanation because it was an activity that Mary had learned in a class at her university and had demonstrated in the advanced Spanish class they had both taken in the fall. Anne had been in that class and had participated in the activity, so she too had an image of how the exercise would proceed. Anne, nothing Mary’s rising blood pressure, readily approved the idea. Thus Mary took the lead with this exercise in the demands of the moment and few words were needed. We had developed our own style of communicating, even within the classroom.
We began the activity by dividing the students into pairs. Each pair was given a slip of paper with the names of two related inanimate objects on it, for example, “spaghetti” and “a fork” and “a car” and “a highway”. We asked each pair to keep their objects secret. Their task was to personify these objects by developing and presenting a dialogue between them. They could not refer to either object by name, for it was the class’s task to guess the objects from clues in the conversation. In a sense, it was like spoken charades. The absurd element of personifying an object and naming it gave the students an entertaining communicative activity. With Mary’s discovery and Anne’s acceptance of this activity, the major problem of what to do had been overcome.
Mary’s panic started to suicide as she passed out the slips of paper. We had overcome the significant challenge of finding an activity within minutes, but there were more obstacles ahead. As mentioned earlier, the class was filled with fellow MAT students. Many of our peers looked at the class as an opportunity to analyze learning and teaching. We wanted to provide the students with learning opportunities, and they, in turn, taught us a great deal in their reactions to these learning experiences. At times this meant that we addressed pedagogical issues together. At other times, however, we felt pushed into pedagogy and away from Spanish, and needed to take more control over the direction of class. After spending our off-campus teaching practicums working with children in elementary and middle schools, we discovered that coming to terms with our roles as teachers of adults was challenging. We were excited to be working with such capable and motivated students, yet occasionally we were unable to channel their energies as we would have wished. Now we would have to show some authority, a delicate undertaking in a group of peers.
One student in particular was an enthusiastic learner of both Spanish and teaching. She had been very attentive to the details of our teaching and her learning. This student contributed materials, ideas, and insight to the class, and we generally appreciated and benefited from her input. One occasion, however, we felt pressured by her inquisitiveness. On the one hand, we wanted to provide a receptive environment in which the students felt comfortable expressing their needs. On the other hand, we felt an obligation to exert control in order to keep the focus of the class on learning Spanish. In the past, this student had challenged our understanding of this balance. On this occasion, she asked Mary a question which referred to an important pedagogical issue we had been examining in our MAT class. Mary’s response was a product of past interactions filtered through the present situation.
As Mary finished distributing the charade tasks, the student asked her how we planned to correct student errors in the exercise. The question itself was innocuous, yet the combination of the student’s history in the class and the tensions of the moment made it seem overwhelming. Mary stopped in her tracks, knowing that she was not ready to respond as she would have liked. After a deep breath, she asked the student to wait a moment and turned to Anne for help. It took honesty for Mary to recognize and admit her limitations. While she wanted to give the student a respectful answer, she was angry and was not thinking clearly. The tension of the moment had blocked her ability to act. Looking to Anne for help gave her time to gather her thoughts and feelings, and it also gave Anne a chance to step in.
Anne had witnessed the interaction between Mary and the student, and she, too, knew the student’s history and the stress Mary was feeling. When Mary turned to her, Anne saw that she was stunned, and Anne knew what had to be done. Anne also realized the value in the student’s question, and diplomatically asked for the student to suggest an error correction strategy. With that comment, she diffused the volatile situation, we gave her greater input into her own learning. Anne question also opened up a discussion about what sort of correction would be useful in these circumstance, and we decided that both students and teachers would take responsibility in correcting errors. In the end, this exchange broadened the range of options and sharpened our response to the students’ needs.
The work out well. The students enjoyed their roles as creators and actors. They took responsibility for helping each other examine errors seriously, and many interesting explanations arose from the questions they raised. We both felt a sense of relief as the class ended; our panic had turned into productivity. Now we could look at what we had learned from these interactions.
Lessons learned
The first lesson we learned was to plan details carefully and consistently. We could have avoided the whole situation by writing a checklist prior to class that day. Then, we would have discovered the confusion with the papers before class. We also realized how useful it is to have contingency plans. Had we taken some time earlier in our team teaching to discuss a potential “plan B” for unexpected situations, we could have avoided some of the tensions that arose in deciding what to do. But practicing improvisation allowed each of us to tap unexplored resources.
We saw that management in an adult classroom rests on striking a balance between care and control. Despite the pressure surrounding the student’s question, the activity was enhanced a thousandfould by the issue she raised. This reinforced our belief in the importance of giving students input into their own learning process. Moreover, we learned the value of being attuned to signals in the class so that we could provide support for one another. We saw that one way of showing care was to share control of the direction of the class. Furthermore, this story demonstrates how our complex thinking skills and our tacit knowledge of teaching were operating quickly and in an integrated fashion in order to make necessary decisions. Through collaborative teaching, we started thinking on our feet in the classroom; we were “reflecting-in-action” (Shon 1987).
A musical metaphor helps define this process because at times our work that day resembled jazz improvisation: action smoothly integrated into ongoing performance. (Schon 1987) writes:
Improvisation consists in varying, combining and recombining figures within a schema that gives coherence to the whole piece. As the musicians feel the directions in which the music is developing, they make new sense of it ……. They reflect in action on the music they are making.
In this story, we could “improvise” together because our “feeling” and decisions about the direction of the class were rooted in the underlying structure of our shared vision of the class. This, in turn, was shaped by our evolving knowledge to teaching and our shared values. Thus we were able to test new ideas and adjust our incipient knowledge base. At the same time, we learned to be aware of the whole of the classroom situation while still experimenting with the specifics. We understanding this integrated decision making as “reflecting-in-action.”
Our story shows commonality of purpose and an understanding of how to complement one another’s efforts as our teamwork became more aligned (Senge 1990). Because we worked together, we each had a chance to solo while accompanying the other. Through teaching collaboratively, we pushed each other deeper in our understanding and provided one another with alternative suggestions that removed obstacles from our path. In this way, we balanced one another and delved further into the intricacies of teaching.

Collaboration leads to learning
We shall not case from exploration
And the end of all our exploring
Shall be to arrive where we started
And know the place for the first time
                                           T.S. Elliot
These stories are explorations into ourselves, our teaching, and our learning. Through the collaborative process of experience, and telling and writing these stories, we have gained a new understanding of our identities as teacher, friends, and colleagues; we have come to know parts of ourselves for the first time. Because we have reflected on common experiences using our shared professional discourse (Freeman 1991a), teaching concepts that began as words – and as symbolic representations of ideas – have become anchored in personal experience. In this approach to learning, moments or stories from practice have been attached to issues and concepts. With these vivid examples in place, we grasped their meanings and constructed our own interpretations of these teaching ideas. Consequently, this knowledge has become available to us as a resource for use in the future. In this way, our philosophies of teaching and learning have deepened as have come to know “where we started….for the first time.”
For us, collaboration meant consistently working together to accomplish a task; it was a series of actions that complemented those of our partner. In a deeper sense, it became a conscious way of approaching teaching, based on respect for and appreciation of the other’s presence. We both left the experience open to the importance and potential of collaborative planning because we realized that plans we created together were greater than those we might have developed individually. Contributions from both of us led to more creative and complete lesson plans. In the future, we will look for opportunities to discuss plans with other teachers as a way of recapturing this benefit.
The story of collaboration in the classroom showed us how control in the classroom is subtly bound to the concept of care. Looking at our reactions to and reflections on the incident gave us insight into how our teaching processes are composed of a unique mix of tacit knowledge and pedagogical theory. Because these elements, both “hard to define and close to the soul” (Duckworth 1987) were challenged and examined through collaboration, we built a broader base from which to make intuitive decisions. This, in turn, shaped our understanding of teaching.
Collaboration can serve as a catalyst and a mirror for exposing, expressing, and examining ideas. It can lead to enriched learning and improved instruction. Teaching knowledge, after all, is developmental (Freeman 1991b). We recognize that our situation is not often available to most teachers or students of teaching. The question of how to create such opportunities for teachers to collaborate and learn from each other remains relevant and pertinent. How can we build bridges to connect teachers in meaningful experiences that provoke thought, dialogue, reflection, and learning? We believe that the prospects for improving teaching lie in then answers to this question.























lEARNING TO TEACH TOGETHER
Latar Belakang
Proses belajar mengajar erat sekali kaitannya dengan lingkungan atau suasana di mana proses itu berlangsung.  Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya belajar, fasilitas yang tersedia, pengaruh suasana kelas masih sangat penting.  Hal ini beralasan karena ketika para peserta didik belajar di ruangan kelas, lingkungan kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan mendukung mereka atau bahkan malah mengganggu mereka. 
Oleh karena itu, Duckworth (1987) mengatakan bahwa suasana yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik.  Lebih lanjut, Moos dalam Walberg (1979) mengatakan bahwa suasana  sosial mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik, belajar, dan pertumbuhan/perkembangan pribadi.  Kedua pendapat itu sangat beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi belajar peserta didik.
           Kolaborasi merupakan tanggung jawab bersama di luar atupun di dalam dan cara ini mengemukakan bahwa prestasi belajar peserta didik ditentukan oleh banyak faktor seperti usia, kemampuan dan motivasi, jumlah dan mutu pengajaran, lingkungan alamiah di rumah dan kelas.  Di samping itu, Berliner (dalam Walberg, 1979) kelihatannya mendukung Walberg dengan mengatakan bahwa iklim kelas yang ditandai dengan kehangatan, demokrasi, dan keramahtamahan dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi prestasi belajar peserta didik.
The Mat Program And The Class We Taught Together
                Banyak cara untuk menciptakan kelas ideal, antara lain kelas yang terdiri dari 9 siswa dari semua program SIT, dan satu orang professor dari MAT Program, semua siswa memiliki mitivasi yang tinggi, di luar kelas mereka belajar bahasa Asing, mereka banyak mendiskusikan masalah neraga-negara. Keaneka ragaman mereka merupakan tolak ukur pada suatu kelompok, mulai dari kelompok rendah sampai yang tinggi.
                Pada tingkatan yang lebih dalam, para      siswa membantu beberapa dinamika yang menarik yang tidak mungkin di temukan dalam kelas bahasa, para siswa disuruh berjuang keras untuk membuat ide-ide baru pada ujungnya  menghasil system pengajaran baru dan mereka memiliki rasa senang untuk mengkuti proses elajar dan mengajar di dalam kelas. 
            Kesimpulan dari beberapa Penjelasan  tersebut di atas adalah bahwa prestasi belajar peserta didik juga ditentukan oleh Suasana kelas di mana mereka belajar.  Implikasi lebih lanjut dari studi-studi itu adalah bahwa prestasi belajar peserta didik dapat ditingkatkan dengan menciptakan Suasana kelas  yang kondusif dan lebih baik.


Kolaborasi dalam Perencanaan
                Perencanaan adalah merupakan bagian dari pengajara, para guru menrencang untuk semua kegiatan, perencanaan dapat membantu untuk mengurangi ketidak pastian dan menciptakan pereasaan yang mengarah. Lebih lanjut, dapat mempromosikan keselamatan dan keercayaan. Perencanaan dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan tugas, melayani terhadap apa yang terjadi secara langsung, hal ini merupakan waktu untuk menyampaikan  tujuan instruksional  jangka pendek dan panjang dan untuk mengevaluasi ketercapainya ( Clark and Peterson 1986)
                Oleh para tim Kerja guru, ditemukan 4 alasan rencana. Yaitu antara lain;
1.        Untuk menyatukan langkah dan membuat identitas
2.        Berfikir utuk mengordinir peristiwa-peristiwa yang terjadi di kelas
3.        Praktek merefleksikan peristiwa
4.        berfikir dengan kreatif
Deangan cara ini, perencanaan merupakan suatu cara untuk membentuk suatu visi dan misi di kelas
Alat ukur Suasana di kelas digunakan untuk mengungkapkan keadaan kelas yang dialami dan yang diinginkan peserta didik.  Data yang diungkap dengan alat ukur itu dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam melakukan perbaikan keadaan  kelas.  Hal ini dilakukan agar peserta didik merasa lebih mapan di kelas yang mereka inginkan yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan akademis mereka.  Inisiatif perbaikan iklim kelas dapat dilakukan baik oleh guru kelas sendiri maupun oleh kepala sekolah dan supervisor yang bertugas melakukan pembinaan terhadap guru.
Fokus penemuan
                Pada sustu hari, salah satu siswa menunjukan pada guru poster tentang ilmu social pada tahun 1950-an. Poster itu disajikan untuk mengingatkan pembaca pada masalah potensi kecelakaan yang sangat mungkin terjadi di tempat kerja, hal tersbut untuk mendapatkan gambaran, yang sedikit banyka menggambarkan kecelakaan yang mengerikan, yaitu yang terjadi di pabrik dinamit, tukang daging yang tangannya masuk ke dalam silinde penggiling daging, kereta apai yang keluar dari relnya sampai seorang pengembala yang ditendang Bantheng. Berdasarkan kecelakaan tersebut para siswa dituntut untuk menentukan judul suatu tulisan atau judul yang lucu, Ledakan Parik dinamit, yang akhirnya menghasilkan judul “ Infrequent Accident”, berdasarkan pada gambaran kecelakaan yang diajukan yang menimpa para pekerja bisa menhasilkan judul “ Rare Accident”
Para penulis dengan pandai dapat membandigkan kecelakaan di desa ( ditendang bantheng dan sapi pada waktu memerah susu)
                Ketika guru sedang, setelah poster itu di berikan kepada para siswa, siswa disuruh untuk menghubungkan peristiwa itu dengan poster. Ketika guru hendak meninggalkan kelas, salah seorang siswa mengatakan “bukankah ini bagus untuk diterapkan di dalam kelas kita?” dan seterusnya.
Setelah peristiwa di kelas diolah, guru kelas diberi tahu hasil analisisnya, baik hasil analisis actual maupun preferred form.  Pada kejadian  ini guru kelas dapat mengetahui apakah ada perbedaan yang berarti antara suasana kelas yang dialami dan Susana kelas yang diinginkan peserta didik. Maka dari itu guru boleh memikirkan perlunya perubahan untuk mengurangi kesenjangan.
Brainstorming
                Langkah pertama dalam proses rencana pengajaran di kelas adalah brainstorming,  ini dapat menghasilakn suasana kreatif yang mendorong pemikiran fantastis, mengajarkan sikap menerima, dan meminta peserta untuk menmukan banyak alternative (Davis 1987:57). Dengan poster orang Maxico dapat berfikir untuk menggunakan banyak kosakata dalam bentuk permainan dan menulis dalam bentuk deskriptif. Saran pendapat dan hasil diskusi merupakan langkah untuk menyempurnakan pernyataan yang dibuat. Misalnya pertanyaan; Apa yang kamu maksud dengan Permainan tebakan? “ How do you see us introducing the activity?” dan “ Where do you see the activity leading?”ini semua adalah pertanyaan yang membimbing peserta didik untuk membuka komunikasi antar mereka, memperluas pikiran dan mengarahkan satu visi. Juga, memberikan dasar bagi guru untuk melaksakan Proses belajar mengajar di kelas..
Membatasi Opsi
                Ketika menemukan gagasan-gagasan yang disukai,  mulailah untuk mendiskusikan tema mana yang terpilih, kritikal thinking dan ketrampilan untuk mengambil keputusan muncul dari langkah ini. Untuk membuat keputusan dengan konsensus, dilakukan pemilihan ide-ide dalam rangka untuk menyatukan visi dan misi bersama. Kemudian langkah berikutnya mengembangkan ide-ide yang tersleksi.

Kolaborasi didalam kelas
                Pengajaran Kolaborasi memberikan kesempatan yang ideal untuk mengembangkan kritik, ketrampilan-ketrampilan untuk membuat keputusan yang rasio. Mealui proses belajar dan mengajar, guru mempunyai model untuk mengamati semua kegiatan di kelas secara dekat, guru dapat memberikan pertimbangan prilaku siswa selama proses belajar dan  mengajar.
                Di dalam kelas, para tim guru merupakan sumber utama satu sama lain, kalau ada pertanyaan dari siswa guru satu dengan lainya saling membantu untuk menemukan jawaban tersebut. Dengan cara ini,  kelas dibentuk suatu kelompok, tiap kelompok memberikan komentar pada tugas yang diberikan oleh guru.
Pada tahap ini guru terlibat dalam diskusi baik secara formal maupun informal dengan guru-guru lain tentang profil mengajarnya dan membicarakan perlunya perbaikan kerjasama antar kelompok di kelasnya.  Guru boleh memilih kelomok  mana yang perlu diprioritaskan untuk diperbaiki dan diberikan bantuan serta yang perlu dipertahankan gagasanya sesuai dengan kebutuhan peserta didik saat itu.  Sebagai contoh, pada skala demokrasi terdapat perbedaan yang mencolok antara keadaan yang dialami dengan yang diinginkan oleh peserta didik.  Guru memutuskan untuk mengurangi kesenjangan ini dengan meningkatkan demokrasi kelas.
Setelah guru memilih untuk meningkatkan demokrasi kelas, guru kemudian melakukan upaya misalnya dengan lebih sering melibatkan peserta didik dalam pengambilan keputusan kegiatan kelas, dalam diskusi kelompok dan dalam pemecahan tugas-tugas kelompok.  Di samping itu, guru dapat mengurangi perintah-perintah kepada peserta didik yang dia rasa sebagai perintah yang tidak demokratis.  Langkah ini dapat memakan waktu dua sampai tiga bulan, atau juga tergantung pada kebutuhan. 
Setelah guru merasa bahwa langkah intervensinya cukup, guru melakukan penilaian ulang dengan membagikan kembali permasalahan pada kelompok di kelas .  Hasil penilaian ulang ini kemudian dibandingkan dengan hasil penilaian yang pertama.  Apabila terdapat perbedaan yang berarti antara sesudah dan sebelum diberikan solusi oleh guru dan yang dialami peserta didik sebelum dengan sesudah intervensi perbaikan guru, maka langkah perbaikan dapat dikatakan berhasil.  Namun, apabila belum ada perbedaan yang berarti, guru dapat mengulangi langkah ini sampai dia yakin ada peningkatan pada pertemuan lain  seperti yang dia kehendaki dalam perencanaan yang dibuat.
Pelajaran dipelajari
                Pelajaran pertama yang dipelajari harus sesuai dengan rencana yang sudah dirancang dengan detil, sehingga guru dapat mengontrol kejadian-kejadian yang mungkin terjadi yang tidak sesuai dengan rencana. Guru juga ingin membuktikan manfaat rencana yang dibuat secara mendadak, untuk menanggulangi kemungkinan kejadian yang terjadi secara mendadak pula. Tetapi ini digunakan untuk mengantisipasi ide-ide yang belum waktunya untuk dipelajari pada saat proses belajar dan mengajar. Guru harus tahu cara memimpin kelas dewasa  dalam menyeimbangkan antara kepedulian dan kontrol.  Disamping pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para siswa,  yang harus ditanggapi oleh guru, walaupun pertanyaan – pertanyaan tersebut tidak mengarah pada topic yang didiskusikan saat itu.


            

















Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
                Bagi guru, kolaborasi adalah sifat konsisten dalam bekerja sama untuk memenuhi tugas yang ada, hal ini yang merupakan pelengkap suatu kerjasama. Kolaborasi juga menunjukkan cara bagaimana mengontrol kelas agar tercipta suasna yang kondusif, sehigga apa yang direncanakan dapat berjalan dengan tertib, lancer dan aman serta dapat dapat menghasilkan suatu hasil yang memuaskan.

              Suasana tenang di kelas  merupakan satu kajian yang masih kurang memperoleh perhatian dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikan, padahal langkah-langkah menciptakan tenang di kelas yang diajukan para ahli pendidikan kelas mempunyai jiwa pengambilan keputusan bersama antara guru dengan kepala sekolah.

            Langkah-langkah perbaikan suasana tenang  yang diuraikan di depan sangat tepat apabila diimplementasikan dalam sistem manajemen berbasis sekolah karena langkah-langkah itu lebih banyak melibatkan guru dengan fasilitas dari kepala sekolah.  Kolaborasi antar guru dan kepala sekolah inilah yang akan lebih banyak menentukan pencapaian perbaikan sistem dan yang diharapkan dapat meningkatkan prestasi peserta didik.
            Dalam sistem manajemen berbasis pusat langkah-langkah seperti di atas sulit dilakukan karena terlalu banyak prosedur yang harus dilewati.  Oleh karena itu, dalam manajemen berbasis sekolah langkah-langkah itu diharapkan mampu menjadikan titik awal (to trigger) inovasi perbaikan pembelajaran.
            Suasana yang tenang  diyakini berkorelasi positif dengan perubahan tingkah laku dan prestasi hasil pembelajaran siswa.  Dengan kata lain,suasana kelas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas pembelajaran di kelas.  Namun demikian, pada umumnya guru dan kepala sekolah belum mengetahui makna dan hakikat serta dampak ketengan kelas terhadap proses belajar-mengajar.
            Melalui kolaborasi  kelas dapat dikembangkan aspek-aspek demokrasi dalam pendidikan.  Hal ini tercermin dalam kegiatan seperti pemberian penilaian awal, perlakuan umpan balik, pelaksanaan refleksi dan diskusi, perlakuan perbaikan, dan pemberian penilaian ulang.

Saran
Guru hendaknya memiliki kebiasaan proaktif terhadap berbagai gagasan yang bersifat inovatif, terutama perbaikan efektifitas dan efisiensi pembelajaran dengan melakukan berbagai terobosan, antara lain mempelajari iklim kelas (class room climate) melalui berbagai referensi dan diskusi.  Selanjutnya, mencoba melakukan perencanaan dan melakukan penelitian kelas (action research) terhadap pembelajaran.
            Para pengelola pendidikan di daerah hendaknya dalam melakukan setiap upaya perbaikan hasil pembelajaran melalui Kolaborasi, selalu diikuti dengan kegiatan monitoring dan evaluasi program serta merumuskan berbagai alternatif pemecahannya bersama dengan komponen sekolah dan para pakar pendidikan yang berkompeten serta nara sumber lainnya yang  relevan. 










































PELAJARAN UNTUK MEMBERI PENGAJARAN BERSAMA-SAMA,
PENGAJARAN UNTUK BELAJAR BERSAMA-SAMA


 Pengenalan Yang yang bertumbuh [bahwa/yang] dasar pengetahuan [dari;ttg] para guru bahasa efektif meliputi teori tidak hanya bersifat pendidikan dan ilmu bahasa, tetapi juga kekayaan itu pf pengalaman individu mereka, telah menuju/mendorong pertimbangan ulang (menyangkut) peran cerminan/pemantulan di (dalam) pengajaran dan pendidikan guru. Cerminan/Pemantulan mempunyai kuasa untuk membantu guru menghubungkan pengalaman dan pengetahuan teoritis dalam rangka menggunakan masing-masing area keahlian lebih secara efektif. Pengajaran diper;rumit, besar-besaran, susah untuk menggambarkan, dan dekat dengan jiwa itu ( Duckworth 1987). Meskipun [demikian] pertimbangan untuk tindakan dan keputusan [kita/kami] [sebagai/ketika] para guru adalah di dalam [kita/kami], [itu] adalah sering sukar untuk mengartikulasikan bagaimana kita mengetahui apa yang [kita kami] lakukan manakala kita memberi pengajaran. Tanpa cerminan/pemantulan, pengajaran berpedoman kepada dorongan/gerakan hati, institusi, atau rutin ( Richards 1990), dan sesudah itu [yang] dijaga di dalam dunia [dari;ttg] pengetahuan diam-diam. Shulman ( 1988) menuntut pendidik guru untuk membantu pelajar membuat pengetahuan [yang] diam-diam ini yang tegas/eksplisit melalui/sampai cerminan/pemantulan [atas/ketika] pengalaman praktis dan pemahaman teoritis. Kerja sama/kolaborasi adalah suatu sarana (angkut) kuat untuk membongkar dan mengembang;kan pengetahuan mengajar.
Kerja sama/kolaborasi- tanggung jawab yang bersama di dalam dan di luar  kelas itu - memberi para guru [adalah] suatu kesempatan mempertinggi cerminan/pemantulan. Kebutuhan untuk mensinkronkan mengajar tindakan memerlukan para guru regu untuk merundingkan dan mendiskusikan pemikiran mereka, nilai-nilai, dan tindakan dalam cara-cara yang nyanyian tunggal para guru itu tidak menghadapi. Proses dalam mempunyai;nikmati untuk menjelaskan maksudnya dan seseorang [mereka/nya], memaksa para guru regu untuk temukan kata-kata untuk pemikiran yang (mana), mempunyai orang mengajar sendiri, malam telah direalisir semata-mata melalui/sampai tindakan. Karena pertimbangan ini, kerja sama/kolaborasi menyediakan para guru dengan peluang kaya untuk mengenali dan memahami pengetahuan diam-diam mereka ( Polanyi 1966). Kita percaya bahwa pengajaran kolaboratif pantas menerima explorasi lebih lanjut  sebagai alat pelajaran tentang pengajaran.
 Kita adalah para siswa (menyangkut) pengajaran bahasa. Kedua-Duanya [kita/kami] datang ke[pada] bahasa yang mengajar dari minat preteaching serupa: sosial dan politik ber;ubah. Kita adalah kedua-duanya tertarik akan jabatan dalam pemerintahan tetapi terhalang dengan pekerjaan [kita/kami] pada ketika. Untuk/Karena [kita/kami], mengajar adalah suatu pilihan karier dapat dipasarkan yang juga memenuhi suatu kebutuhan untuk bagian dari suatu multicultural, masyarakat internasional. Pada bulan Mei 1992, kita menyelesaikan coursework untuk suatu Penguasa Seni di (dalam) Pengajaran ( MAT) berijazah Bahasa Inggris dan Spanyol di Sekolah untuk Pelatihan Internasional (SIT) di (dalam) Brattleboro, Vermont. [Di/Ke] sana, fakultas/pancaindera menantang [kita/kami] untuk menyelidiki dan mencerminkan [atas/ketika] kepercayaan dan pengetahuan [kita/kami] tentang mengajar dan belajar. Mereka memimpin [kita/kami] untuk [berkembang;membuat rencana;melatih;mengalami] pemikiran kita sendiri tentang mengajar dan belajar. Sepanjang tahun, kita mulai untuk kembang;kan suatu kesadaran (menyangkut) proses dengan mana kita belajar dan memberi pengajaran. Pada gilirannya, pengetahuan ini telah membantu [kita/kami] untuk membuat keputusan pengajaran [yang] kritis, masuk akal.
Sepanjang semester [dari;ttg] coursework [kita/kami] yang kedua , kita disewakan ke team-teach [adalah] suatu kelas Spanyol undergraduate-level. Tanggung jawab sambungan dan pengalaman pengajaran kelas kita sendiri memberi [kita/kami] banyak pengalaman bersama yang (mana)  menjadi cerita. Kita menceritakan [kepada] cerita ini ke satu sama lain, kepada para rekan kerja [kita/kami], dan kepada para siswa [kita/kami]. Kita menceritakan [kepada] [mereka/nya] untuk relief;pembebasan komik, kita menceritakan [kepada] [mereka/nya] [bagian;saham] kegembiraan [kita/kami] dan sakit, dan sunggung sering, kita menceritakan [kepada] [mereka/nya] sebab kita ingin bisa dipertimbangkan sesuatu yang telah terjadi. Masing-Masing " menceritakan" dari suatu cerita memberi [kita/kami] suatu kesempatan ke reconsider interaksi dan peristiwa yang telah terjadi kedua-duanya di dalam dan di luar  kelas itu . Kita mempertimbangkan kembali tindakan dan pemikiran [kita/kami]. Kita menanya apa yang [kita kami] mungkin ber;ubah di (dalam) diri kita di masa datang. Menceritakan cerita [kita/kami] kepada para rekan kerja [kita/kami] sering mengakibatkan dialogues tentang pengajaran isu yang (mana)  kita adalah semua aktip ke pemahaman. Kita menjadi sadar akan bagaimana menandakan (menyangkut) cerita membantu [kita/kami] untuk berpikir dan memperbicangkan tentang mengajar.
Di (dalam) bab ini, kita menghubungkan dua cerita dari regu [kita/kami] [yang] mengajar pengalaman yang memimpin [kita/kami] ke pemahaman [yang] baru mengajar dan belajar. [Sebagai/Ketika/Sebab] latar belakang untuk cerita, kita pertama memperkenalkan konteks pengajaran [kita/kami]: kelas [kita/kami] dan program lulusan yang (mana)  mempengaruhi pemikiran [kita/kami] tentang pengajaran. cerita Yang pertama menggambarkan proses perencanaan [kita/kami]. Melalui suatu cerita tentang pengembangan pelajaran merencanakan di sekitar suatu orang Mexico Poster, kita datang ke[pada] mengenali manfaat dan pola teladan [dari;ttg] perencanaan kolaboratif [kita/kami]. Di (dalam) cerita yang kedua , kita memainkan lagi peristiwa yang terjadi di dalam suatu batasan waktu ringkas dalam rangka menguji satu rangkaian keputusan spontan yang memandu perilaku kelas [kita/kami]. Ketika kita meneliti langkah-langkah di (dalam) tanggapan [kita/kami] pada  situasi ini , kita menunjukkan bagaimana bekerjasama dengan suatu mitra pengajaran dapat membantu buatan yang lebih kritis, keputusan rasional di [dalam]  tekanan saat/momen. Kesimpulannya, kita menilai efek dan keuntungan-keuntungan kerja sama/kolaborasi di (dalam) pengembangan [dari;ttg] pemahaman keseluruhan [kita/kami] mengajar dan belajar.

Program MAT dan kelas [yang] kita mengajar bersama-sama
 Di (dalam) banyak jalan, kelas [kita/kami] menyajikan suatu situasi pengajaran ideal. [Itu] terdiri dari sembilan para siswa dari  semua program pada SIT dan  [satu/ orang] profesor dari program KESET. Semua pelajar bermotivasi tinggi; mereka  sedang belajar Spanyol ke luar dari suatu [bunga/minat] pribadi, dan paling telah menempuh perjalanan untuk Spanish-Speaking negara-negara. Keaneka ragaman kecakapan mengukur di (dalam) kelompok, dari mengedepan pemula ke intermediate/antara tinggi, memperkenalkan [kita/kami] dengan tantangan dalam menciptakan pelajaran bertingkat-tingkat di mana semua para siswa dunia sedang belajar.
 Pada [atas] suatu tingkatan lebih dalam, para siswa menyokong beberapa dinamika menarik [yang] umumnya tidak [yang] ditemukan di dalam suatu kelas bahasa; enam para siswa adalah teman sekelas [kita/kami] dari program MAT. [Sebagai/Ketika/Sebab] teman sekelas dan para rekan kerja, kita adalah semua berjuang dengan gagasan baru dan pemahaman pengembangan pengajaran [kita/kami], dan mereka adalah [sebagai/ketika/sebab] ingin/gembira untuk memperhatikan pelajaran mereka dan pengajaran [kita/kami] [yang] ketika kita adalah. Kelas Spanyol memberi [kita/kami] suatu pengalaman umum yang (mana)  menyediakan suatu latar belakang saling pengertian yang di atasnya kita bisa " proyek" keterangan [kita/kami] ( Dewey 1933). MAT coursework memberi [kita/kami] suatu profesional bersama bercakap-cakap untuk menggunakan di (dalam) pemahaman [adalah]  kelas ( Orang bebas 1991).
Kehadiran dari suatu anggota fakultas/pancaindera di (dalam) kelas [kita/kami] menciptakan teacher-student unik dinamis yang lain . Pada mulanya, prospek pengajaran [adalah] suatu anggota fakultas/pancaindera yang yang nampak menakutkan; bagaimanapun, kita dengan cepat [merealisir/sadari] manfaat itu. Ia main suatu peran penting di (dalam) pelatihan ( Schon 1987) pengajaran [kita/kami] [oleh/dengan] membantu [kita/kami] berpikir melalui/sampai rencana [kita/kami], [oleh/dengan] memberi [kita/kami] umpan balik bermanfaat tentang pengajaran [kita/kami], dan [oleh/dengan] bicara dengan [kita/kami] sekitar bagaimana ia  sedang belajar. Ia berbicara penggunaan istilah, bahasa, dan gagasan [bahwa/yang] program MAT tengah mengajar [kita/kami], dan ini dibantu [kita/kami] menghubungkan pengalaman [kita/kami] kepada teori yang bersifat pendidikan [yang] kita tengah belajar.
Logika mendikte, dan riset memperkuat, bahwa kita adalah di (dalam) banyak produk jalan pendidikan. [Itu] mengikuti, kemudian, bahwa kita memberi pengajaran ketika kita diajar ( Goodlad 1983). Masing-Masing siswa [yang] mulai seorang program persiapan guru membawa suatu warisan atau pengalaman pendidikan yang diterima di sekolah dan sekolah dengan dia atau nya. Memori [dari;ttg] bahasa asing belajar di (dalam) sekolah, seperti halnya pengalaman di (dalam) hidup luar negeri, di (dalam) kasus [kita/kami], bertindak sebagai [kita/kami] " masa magang pengamatan" ( Lortie 1975). Suatu perhatian dari banyak lulusan yang mengajar program, termasuk kita sendiri, akan bekerja dengan  pengalaman berbeda ini  mendasarkan para siswa itu membawa kepada studi mereka. program MAT menekankan nilai [dari;ttg] cerminan/pemantulan dan pemikiran kritis; [itu] mendukung [kita/kami] untuk menjadi " praktisi yang memantulkan cahaya" ( Schon 1987). [Itu] membantu [kita/kami] memperluas pengetahuan [kita/kami] [oleh/dengan] memberi [kita/kami] tidak hanya suatu bahasa baru untuk menggunakan tetapi juga suatu kerangka di mana untuk mencerminkan pengajaran. [Itu] telah berargumentasi bahwa, kapan para guru didukung untuk mencerminkan dengan kritis pada [atas] pengajaran mereka, mutu [dari;ttg] pengalaman pekerjaan mereka ditingkatkan secara dramatis ( Gomez dan Tabachnick 1992). [Oleh/Dengan] pelajaran untuk mencerminkan, kita bisa mulai untuk melebihi paradigma [yang] kita telah mengembang;kan selama tahun bahasa [kita/kami] [yang] belajar.
Sedang berada dalam program MAT memungkinkan [kita/kami] untuk mencerminkan [atas/ketika] pengajaran [kita/kami]. [Itu] memberi [kita/kami] bahasa di mana untuk menguraikan interaksi dan pengalaman [yang] kita  sedang mempunyai;nikmati [sebagai/ketika/sebab] para guru. Kita menggunakan perkakas [yang] baru ini di (dalam) pengujian pengalaman pengajaran [yang] timbal balik [kita/kami] bersama-sama. Kita menemukan berceritera untuk;menjadi suatu metoda cerminan/pemantulan [yang] kuat sebab adalah suatu jalan/cara [yang] alami membawa dan menyelidiki pengetahuan diam-diam. Melalui/Sampai menceritakan cerita [kita/kami] bersama-sama, kita mengenali sekitar pengalaman [kita/kami] di (dalam) jalan baru. [Yang] sebagai konsekwensi, kita mengembang;kan pengertian yang mendalam baru ke dalam pengajaran. Cerita berikut  memusatkan pada [atas] dua aspek pengajaran: pengambilan keputusan dan perencanaan.

Kerja sama/kolaborasi di (dalam) perencanaan
 Perencanaan adalah suatu kritis bagian dari pengajaran, dan para guru merencanakan untuk beberapa pertimbangan. Perencanaan dapat membantu ke arah mengurangi ketidak-pastian dan untuk menciptakan suatu [perasaan/pengertian] arah; lebih lanjut, [itu] dapat mempromosikan keamanan dan kepercayaan. Perencanaan bisa merupakan suatu alat-alat kepada akhir instruksi, melayani untuk mengarahkan apa yang terjadi. [Ini] merupakan suatu waktu untuk menetapkan kedua-duanya sasaran hasil intervi [yang] jangka pendek dan panjang dan untuk mengevaluasi kemajuan ke arah gol itu ( Clark dan Peterson 1986). [Sebagai/Ketika/Sebab] para guru regu, kita menemukan empat pertimbangan tambahan untuk perencanaan bersama-sama:
  • Untuk mengkoordinir tindakan [kita/kami] dan membangun suatu identitas regu
  • Untuk berpikir melalui/sampai teknik untuk mengorganisir peristiwa dari suatu periode kelas
  • Untuk praktek yang memantulkan cahaya dialogues
  • Untuk berpikir dengan kreatif
 Dengan cara ini, perencanaan, untuk/karena [kita/kami], adalah waktu untuk membentuk suatu visi [dari;ttg] kelas [kita/kami].
Potensi untuk pemikiran kreatif di (dalam) perencanaan kolaboratif  sedang menggairahkan sebab produk gabungan adalah lebih besar dibanding apa yang [kita kami] mungkin telah menciptakan secara individu. Kita masing-masing tumbuh untuk menghargai kemampuan imajinatif dari  lain ketika kita memantul gagasan mondar-mandir. Ada suatu unsur petualangan di (dalam) pembongkaran suatu gagasan kepada [kita/kami] co-teacher; kita tidak pernah mengenal [di mana/jika] dan bagaimana [itu] akan berakhir. Ada ruang di (dalam) proses [kita/kami] untuk off-beat usul, seperti halnya untuk pengembangan [dari;ttg] berbagai kemungkinan [yang] lebih masuk akal. Dalam urutan untuk [satu/ orang] mitra yang akan bekerja bersama lainnya, masing-masing dari kita harus lebih dulu memperjelas statemen [kita/kami] dan pemikiran [kita/kami] lebih dari kita mungkin sudah jika kita tengah mengajar sendiri. Dengan cara ini, perencanaan kolaboratif memberi masing-masing dari kita suatu tempat peristiwa untuk suatu lebih melalui/sampai ungkapan [dari;ttg] gagasan kita sendiri seperti halnya kesempatan yang akan bekerja bersama kontribusi mitra [kita/kami]. Di dalam proses ini, pemahaman pengembangan pengajaran [kita/kami] muncul. Cerita berikut  menggambarkan proses perencanaan [kita/kami] dan menyoroti pemikiran kreatif teknik dan gaya komunikasi yang fasilitas pekerjaan [kita/kami] bersama-sama. untuk Yang di;tertib pembentukan ini dan cerita yang berikutnya membantu [kita/kami] membawa pemahaman pengajaran [yang] diam-diam [kita/kami] untuk menyalakan sebab [itu] memaksa [kita/kami] untuk menjangkau untuk pengertian yang mendalam ke dalam mengapa peristiwa, gagasan, dan proses membentangkan [ketika;seperti] mereka melakukan/did.
Pengajaran regu sering membagi tanggung-jawab perencanaan antar anggota, dengan masing-masing orang menjadi bertanggung jawab untuk merencanakan suatu bagian (menyangkut) periode kelas. Bagaimanapun, kita memutuskan untuk merencanakan keseluruhan periode kelas bersama-sama sepanjang;seluruh semester itu. Pada [atas] rata-rata, kita membelanjakan empat jam saban minggu bersama-sama bersiap-siap menghadapi empat jam kelas. Kita telah harus, dan di;jadi;kan, nyaman dengan lingkungan [kita/kami] dan dengan [satu/ orang] yang lain. Kita memvariasi yang rutin [oleh/dengan] aktip sependapat rumah [kita/kami], suatu caf lokalé, atau suatu rumah makan favorit. [Selagi/Sedang] menikmati suatu makanan kecil dan atmospir, kita bercakap-cakap tentang kesengsaraan dan percobaan/pengadilan dari  minggu. Mendiskusikan isu ini mengijinkan [kita/kami] untuk berusaha memahami satu sama lain dan memberi nilai kepada hidup [kita/kami] yang (di) luar pekerjaan [kita/kami]. Kita mulai untuk memahami perasaan, pemikiran, dan gagasan yang masing-masing mitra membawa kepada sesi perencanaan . Membicarakan tentang " isu hidup" juga membantu masing-masing dari kita untuk menyiapkan diri kita untuk bekerja dengan pedoman membebaskan kepala-2 [kita/kami] dari pemikiran ini. [Yang] sebagai konsekwensi, kita menjadi lebih baik mampu memusatkan pada [atas] perencanaan pelajaran. Sedang berada dalam suatu lingkungan nyaman dan menggunakan waktu untuk beberapa diskusi [yang] pribadi adalah suatu upacara agama yang menciptakan suatu menjamin/mengamankan atmospir di mana untuk bekerja. Kita mengakui adanya, bagaimanapun, memberi jadwal [yang] yang sibuk [dari;ttg] guru masa kini, yang [itu] kemewahan adalah tidak selalu mungkin.

Temuan suatu fokus
 [Satu/ orang] [bersemi/ memantul] sore, salah satu para siswa [kita/kami] menunjukkan [kita/kami] suatu orang Mexico ilmu sosial Poster dari itu awal 1950s. poster dirancang untuk memperingatkan pembaca kecelakaan potensi yang bisa terjadi di (dalam) tempat kerja itu. [Itu] mempunyai tigabelas hidup/gamblang/bersemangat dan sedikit banyak(nya) pekerjaan menggambar kecelakaan [yang] mengerikan [yang] mencakup suatu ledakan di (dalam) suatu pabrik dinamit, suatu penjagal dengan tangan nya ditangkap di (dalam) suatu gerinda/tukang asah daging, suatu hal keluar dari rel kereta, dan suatu koboi yang sedang dilemparkan oleh suatu banteng. Sama serius seperti  kecelakaan adalah, kita di/terhibur oleh [yang] dibangun rincian dari tiap gambar dan oleh sebutan/judul yang lucu di bawah masing-masing. Sebagai contoh, ledakan di (dalam) pabrik dinamit diberi hak/judul " Kecelakaan jarang," dan di bawah suatu gambar-an muatan [yang] menimpa para pekerja dok [adalah]  teks membaca " Kecelakaan jarang." Seniman [yang] dengan pintar membandingkan " Kecelakaan di (dalam) desa" ( turut berbaris suatu sumur atau macet;sibuk (dengan) di (dalam) kawat-berduri) dengan " Kecelakaan (menyangkut) desa" ( yang sedang dilemparkan oleh suatu banteng atau yang sedang ditendang [selagi/sedang] pemerahan susu seorang sapi). Ketika kita  sedang tertawa kecil, kita menyadari bahwa kita kedua-duanya diinginkan suatu salinan poster itu. Kita meminta untuk meminjam itu, dan siswa [kita/kami] menyetujui. Ketika kita  sedang meninggalkan, Mary yang dikatakan, " Tidak akan adalah agung untuk menggunakan ini di (dalam) kelas [kita/kami]?" Anne menyetujui. " Bagaimana" pertanyaan [yang] kita mulai untuk menjawab di (dalam) sesi perencanaan berikutnya [kita/kami].

Pengungkapan pendapat
 Yang pertama masuk proses lesson-planning [kita/kami] adalah pengungkapan pendapat. pertimbangan Ditunda yang didasarkan pada, pengungkapan pendapat menghasilkan suatu atmospir kreatif, mendorong pemikiran fantastis, memberi pengajaran sikap mau menerima, dan [minta;tanya] peserta untuk mempertimbangkan banyak alternatif ( Davis 1987:57). Kita bekerja/lancar ke dengan sadar menciptakan [hanya;baru saja] bantal seperti itu untuk gagasan satu sama lain. Kita mulai memantul gagasan mondar-mandir dalam percobaan untuk meletakkan sebanyak usul [sebagai/ketika] mungkin pada [atas] [tabel;meja] itu. Kita mencoba untuk meliputi gagasan yang menujukan area ketrampilan berbeda dan [yang] dijaga di dalam parameter luas dari  presentation-practice-use model untuk pengaturan gol intervi yang kita telah mempelajari di (dalam) program MAT.
Dengan orang Mexico Poster, kita ingat dalam kosa kata penggunaan berlatih, mempertemukan game, dan penulisan deskriptif. Kita menahan diri dari menghakimi gagasan itu. Sebagai ganti(nya), kita tolong menolong menyatakan [mereka/nya] lebih secara penuh [oleh/dengan] [minta;tanyakan] pertanyaan untuk memperjelas dan memperluas statemen [menjadikan/buat]. " Apa maksud anda oleh suatu tebakan game? Bagaimana anda lihat [kita/kami] memperkenalkan aktivitas? Di mana kamu lihat aktivitas [yang] memimpin?" adalah pertanyaan memandu khas. Mereka membantu untuk membuka komunikasi antar[a] [kita/kami], memperluas pemikiran [kita/kami], dan membawa [kita/kami] [bagi/kepada] suatu visi serupa. Pelajaran untuk menyatakan gagasan [kita/kami] ke satu sama lain dan ke [sebagai/ketika/sebab] nonjudgmental pertanyaan memberi [kita/kami] suatu dasar luas dari yang (mana)  untuk mulai pengajaran [kita/kami]. Sikap [dari;ttg] fleksibilitas dan mengingat-ingat terbuka ke arah yang lain dan gagasan nya adalah penting dalam posisi ini. [Sebagai/Ketika/Sebab] Bateson menunjuk ke luar, " Karena complementaras untuk sungguh-sungguh kreatif, [itu] adalah tidak [yang] cukup untuk harus singgah kedua-duanya arah; adalah diperlukan untuk mengakui adanya yang kedua-duanya kontribusi adalah nilai sama dan yang kedua-duanya dengan bebas diberi" ( 1990: 100). Dalam urutan untuk sesi perencanaan [kita/kami] agar berhasil, kita kedua-duanya diperlukan kesempatan untuk kembang;kan gagasan [kita/kami] dan buatan keputusan penuh arti, kreatif.

Membatasi pilihan
 Ketika kita menemukan gagasan yang kita menyukai, kita mulai untuk merundingkan pilihan dari suatu tema. Critical-Thinking dan pengambilan keputusan ketrampilan mulai aktif (melaksanakan ) di (dalam) tahap ini. Kita mencoba untuk membuat keputusan [oleh/dengan] konsensus; lapisan [atas/ketika] lapisan berbagai kemungkinan akan ditambahkan dan dipindahkan ketika kita menyuling gagasan [kita/kami] dalam rangka tiba di suatu visi bersama. Karena pelajaran ini, kita kedua-duanya disetujui yang deskriptif menulis tentang korban atau kecelakaan adalah suatu arah kebaikan untuk mengambil. Tetapi ini yang nampak terbatas. Berikutnya, kita memusat pada [atas] gagasan untuk suatu karakter belajar; tetapi apa [yang], kemudian, akan ikat karakter bersama-sama? Apa [yang]  akan tujuan penulisan uraian seperti itu? Dalam posisi ini, memecahkan masalah ketrampilan membantu [kita/kami] temukan dan menguji alternatif.
 Mary ingat suatu latihan [yang] dia melakukan di (dalam) konteks yang lain . Selama perguruan tinggi, dia telah mengambil bagian di (dalam) suatu aktivitas di mana masing-masing orang diminta untuk menciptakan suatu sket karakter [dari;ttg] pemimpin ideal nya. Kemudian, para siswa datang bersama-sama di (dalam) kelompok kecil untuk menyajikan mereka " para pemimpin" dan untuk memutuskan pemimpin yang (mana)  akan bersifat paling sesuai untuk mengembang;kan suatu masyarakat pada [atas] planet yang lain . [Itu] nampak seolah-olah latihan mungkin cocok dengan gagasan [yang] kita tengah mendiskusikan. Tiba-Tiba, Anne mempunyai suatu gagasan keemasan.
Cerita Mary's mengingatkan Anne dari suatu penghargaan memberi tiap-tiap tahun oleh suatu senator dari Wisconsin untuk penggunaan wajib pajak [yang] [yang] pemboros' uang. Memori ini membisikkan suatu pemikiran: Suatu penghargaan! Suatu penghargaan untuk " [yang] yang paling dungu" kecelakaan! Finalis untuk penghargaan bisa (adalah) orang di (dalam) poster! Para siswa di (dalam) kelas [kita/kami] bisa menciptakan sket karakter dalam rangka bersaing untuk penghargaan kecelakaan yang paling dungu. Kita begitu mempunyai suatu tema beton yang memungkinkan [kita/kami] untuk menyuling gagasan ke dalam suatu rencana pelajaran.
 Kita akan [minta;tanya] para siswa untuk menguraikan orang di (dalam) gambar-an mereka dan peristiwa yang telah mengarahkan; mendahului kecelakaan pekerjaan. Kemudian kita akan [minta;tanya] [mereka/nya] untuk membentuk suatu panitia untuk memutuskan itu pemenang cerita. Kita menyadari bahwa panitia akan memerlukan suatu nama dan demikian " Akademi Yang raja untuk Penghargaan Klutzy Pindah;Gerakkan" dilahirkan. Para siswa akan menjadi anggota ini " Akademi," dan tanggung jawab mereka adalah untuk memilih dan menghormati pemenang itu. Ke arah akhir [dari;ttg] arus gagasan ini, Anne mengingat suatu istilah di (dalam) Spanyol digunakan untuk menguraikan seseorang [yang] mengerjakan hal-hal pandir: kepala nanas ( cabeza tidak pina). Ini menjadi jabatan penghargaan yang (diharapkan) untuk diberi oleh Akademi: " Kepala Nanas Menghadiahi." [Selagi/Sedang] tugas yang yang menghasilkan nampak off-beat, kita percaya bahwa itu akan memberi para siswa [adalah] suatu kesempatan diperlonggar untuk belajar dan menggunakan Spanyol di (dalam) kelas.

Mengembangkan dan menyuling pilihan terpilih
 Sekali kita telah mengerti arus [yang] yang umum [dari;ttg] pelajaran [kita/kami], kita bisa memusatkan pada [atas] bagaimana aktivitas akan berkembang. Gagasan berubah menjadi suatu rencana pelajaran dua hari. Hari 1 dipusatkan pada [atas] menulis dan membaca: Pertama, kita biarkan masing-masing siswa memilih suatu gambar-an yang akan bekerja bersama. Para siswa kemudian menulis tentang karakter dari  orang di (dalam) gambar-an dan rantai peristiwa yang (mana)  telah mengarahkan; mendahului kecelakaan itu. Dalam posisi ini, peran [kita/kami] akan menjawab pertanyaan dan membantu [mereka/nya] di (dalam) pekerjaan mereka. Setelah mereka telah menyusun suatu cerita, kita mulai suatu panutan yang mengedit sesi di mana mereka tolong menolong dengan itu penulisan. Pada ujung jam, kita [minta;tanya] para siswa untuk membawa sket karakter mereka kembali ke kelas yang berikutnya, ke hadir untuk kelompok.
 Pada [atas] hari 2, fokus menggeser/bergeser untuk mengatakan dan mendengarkan. Para siswa menjadi anggota dari  Akademi untuk Penghargaan Klutzy Pindah;Gerakkan. Tugas mereka akan menyajikan Kepala Nanas Menghadiahi [bagi/kepada] salah satu [dari] karakter itu. Pertama, kita merobek kelas di (dalam) separuh dan mempunyai masing-masing siswa menyajikan cerita nya kepada mereka " Akademi." Kemudian, masing-masing kelompok mendengarkan presentasi, pertanyaan yang [diminta;tanya] untuk belajar lebih banyak tentang masing-masing peristiwa dan karakter, dan memilih dua semifinalists. Akhirnya, keduanya kelompok datang bersama-sama, memperkenalkan semifinalists, pertanyaan yang dijawab, dan memilih suatu pemenang.
Puncak aktivitas untuk kelas adalah suatu upacara besar di mana Penghargaan Kepala Nanas diperkenalkan. Upacara di (dalam) volved suatu pembukaan statemen oleh kepala dari  Akademi Klutziness ( Mary) dan suatu penampilan tamu oleh penerima tahun lalu ( Anne). Setelah suatu pengenalan ringkas, pembicara tamu, perban yang berpakaian dan berjalan pada [atas] kruk, menceritakan [kepada] cerita [yang] tak enak badan nya dan menerangkan gambar-an [dari;ttg] kecelakaan nya. Model ini [yang] mendengarkan latihan memberi para siswa [adalah] suatu kesempatan untuk dengar kosa kata yang baru [yang] mereka tengah belajar. Berikutnya, para siswa memperkenalkan calon mereka untuk penghargaan itu. Setelah masa pertanyaan dan jawab, kita mendapat suara yang akhir itu. Perayaan setelah itu mencakup presentasi dari  penghargaan dan suatu makanan kecil [dari;ttg] nanas segar.
 Kita tertarik untuk lihat bagaimana rencana pelajaran akan diterima oleh para siswa itu. Kita disenangkan untuk temukan bahwa kita bisa mengikuti rencana [kita/kami] [yang] lekat pada [atas] kedua-duanya hari. Aktivitas nampak untuk menyediakan para siswa dengan tugas sesuai dan tantangan. Dengan cara ini, para siswa yang tinggal [yang] dipusatkan dan ditautkan sepanjang;seluruh kedua-duanya periode kelas. kemampuan dan kreativitas Siswa luar biasa; cerita [yang] mereka menulis mengesankan. Cerita pemenang adalah sekitar seorang ESL guru [yang] mengajar tempat kerja ESL di (dalam) suatu pabrik dinamit. [Selagi/Sedang] guru ini  sedang menggunakan tongkat dinamit ke diagram menghukum struktur, isteri [yang] terdahulu nya masuk ruang dengan suatu cerutu dinyalakan, [meneteskan/jatuh] debu panas pada [atas] dinamit, dan menyebabkan ledakan yang mengerikan melihat di poster.
Manakala teachers-in-training diajar sekitar perencanaan pelajaran, mereka pada umumnya diperkenalkan kepada negara-negara sasaran hasil, tentang isi penetapan atau apa [yang]   mereka  sedang mengajar, dan [tentang] campuran isi itu ke dalam aktivitas sesuai ( orang bebas 1991B). program MAT memperkenalkan gagasan ini kepada [kita/kami], tetapi kita adalah juga diminta untuk kembang;kan suatu meta-awareness dari apa [yang] kita memikirkan manakala kita merencanakan. pendekatan [yang] Luas ini ke perencanaan pelajaran meyakinkan suatu saldo/timbangan antar[a] mencoba format perencanaan dibentuk/mapan dan strategi perencanaan mengembang;kan untuk sesuaikan kebutuhan individu [kita/kami] dan gaya pengajaran. Versi [kita/kami] [dari;ttg] perencanaan kolaboratif adalah wakil;contoh pendekatan ini. Unsur-Unsur struktur yang kita mempelajari secara formal dan kemudian sesuai penggunaan [yang] pribadi [kita/kami] [menjadikan/buat] proses kita sendiri. Pengembangan dari  orang Mexico poster Pelajaran mengungkapkan bagaimana gagasan [yang] susah dipakai [kita/kami] menjadi dapat dikendalikan ketika kita menuntun [mereka/nya] melalui suatu proses perencanaan kolaboratif. Langkah-Langkah mencakup:
  • Temuan suatu dasar untuk bekerja dari ( e.g., poster) pengungkapan pendapat gagasan
  • Pembatasan pilihan
  • Menjelaskan pilihan terpilih
  • Pengungkapan pendapat di sekitar pilihan ini
  • Memutuskan pada [atas] suatu tema untuk menghubungkan gagasan di dalam pilihan
  • Mengembang;Kan suatu urutan untuk memesan gagasan
  • Meluaskan keaktifan jenis
  • Membuktikan logistical rincian (menyangkut) pelajaran

Perencanaan kolaboratif membantu [kita/kami] kedua-duanya secara teori dan secara hubungan antar pribadi. Sepanjang;Seluruh proses ada suatu saldo/timbangan antar[a] " free-for-all" pengungkapan pendapat dan " give-and-take" negosiasi gagasan antar[a] [kita/kami]. Kita bekerja/lancar untuk menciptakan suatu pemahaman gagasan [yang] umum [oleh/dengan] [minta;tanyakan] pertanyaan dan pemikiran menjelaskan. Perencanaan dengan suatu mitra mengakibatkan suatu pengembangan [yang] lebih lengkap [dari;ttg] gagasan [kita/kami], dan ini didorong ke arah rencana pelajaran [yang] lebih padu. Kita menikmati perencanaan bersama-sama dan sering juga tertawa di pemikiran yang muncul. Ketawa ini membantu [kita/kami] menyelidiki dan memperluas batas kemungkinan di (dalam) menciptakan pelajaran itu. Pengajaran nampak untuk;menjadi suatu saluran sempurna untuk pemikiran kreatif [kita/kami].
 Barangkali faktor yang paling utama di (dalam) proses perencanaan  adalah rasa hormat dan kepercayaan yang kita mengembang;kan untuk satu sama lain. Sepanjang ke tiga bulan yang kita bekerja/lancar bersama-sama, kita datang ke[pada] dengan sebenarnya menghargai kontribusi [adalah]  [yang] dibuat yang lain kepada pekerjaan kolektif [kita/kami]. Sebab kita harus lebih dulu kembang;kan ketepatan dan kejelasan ungkapan, pola komunikasi [kita/kami] meningkatkan dan memperdalam. Sebagai hasilnya, membuat [yang] tegas/eksplisit yang diam-diam menjadi lebih mudah. Dinamika ini memungkinkan [kita/kami] untuk menciptakan rencana [kita/kami] [yang] dengan cara kerja sama dan untuk menikmati langkah-langkah yang memimpin [kita/kami] pada  gol ini . Dalam beberapa hal, kita  sedang membangun suatu identitas regu, dan gambaran ini adalah rumit di dalam kelas itu. Berikut bercerita dari suatu rangkaian keputusan dan interaksi yang terjadi [hanya;baru saja] beberapa menit setelah kita masuk kelas itu. Di (dalam) situasi ini, kita menghadapi tiap-tiap mimpi buruk guru: Kita tiba untuk kelas tanpa material untuk two-hour aktivitas [yang] kita telah merencanakan.

Kerja sama/kolaborasi di (dalam) kelas
 Kegembiraan perencanaan bersama-sama mengakar di dalam kelas, [seperti;sebagai;ketika] pelajaran membentang. Di samping orkestrasi hati-hati, meskipun [demikian], Hukum Murphy's mendikte bahwa tidak ada apapun dalam hidup terjadi sungguh [seperti/ketika] direncanakan. Kebenaran mutlak ini [berlaku bagi/meminta kepada] kelas itu. Perencanaan mengurangi, tetapi tidak menghapuskan, ketidak-pastian tentang teacher-student interaksi sebab pengajaran kelas adalah suatu proses sosial kompleks yang secara teratur meliputi gangguan, kejutan, dan penyimpangan ( Clark dan Peterson 1986). Pengambilan keputusan adalah berada di pusat yang interaktip langkah pengajaran. Sering, aneka pilihan ini harus secara spontan dan cepat. [Itu] mengikuti, kemudian, bahwa jika kita dapat memahami motivasi dan proses di belakang pengambilan keputusan intuitif, instinctive, kita dapat memperoleh kendali lebih besar (di) atas interaksi [kita/kami] di (dalam) kelas itu. Kritis, keputusan rasional datang dari kesadaran guru [dari;ttg] pengambilan keputusan nya memproses dan hasil nya ( Orlich et al 1990).
 Pengajaran kolaboratif menyajikan [kita/kami] dengan suatu kesempatan ideal untuk kembang;kan [yang] kritis [kita/kami], pengambilan keputusan ketrampilan masuk akal. [Oleh/Dengan] pengajaran dengan seorang guru lain, kita mempunyai suatu model untuk mengamati di (dalam) kelas itu. Kita melihat tindakan satu sama lain [yang] lekat, dan fokus ini adalah kritis kepada sinkronisasi [kita/kami] di (dalam) kelas itu. Kita mempertimbangkan perilaku kelas satu sama lain kedua-duanya dengan sadar dan tanpa sadar. Sering di (dalam) cerminan/pemantulan setelah kelas, salah satu [kita/kami] akan [minta;tanya], " Mengapa kamu lakukan X?" Melalui/Sampai modeling, dialogue, dan diskusi, kita bekerja/lancar untuk memahami motivasi dan pemikiran satu sama lain.
Di dalam kelas, para guru regu adalah suatu sumber daya tidak ternilai untuk satu sama lain. Ada seorang rekan kerja dalam jangkauan [yang] dapat menjawab suatu pertanyaan, mengkonfirmasikan suatu firasat, menyarankan suatu pendekatan baru, dan masuk jika diperlukan. Para guru kolaboratif memberi satu sama lain umpan balik dan penguatan. Dengan cara ini, suatu regu dibangun. Para siswa [kita/kami] berkomentar bahwa kerjasama sekelompok [kita/kami] lembut. Untuk/Karena [mereka/nya], [itu] sering nampak seolah-olah guru tunggal  sedang mengajar kelas.
 Pengujian reaksi [kita/kami], pemikiran, dan perasaan manakala berhadapan dengan situasi tak diduga di (dalam) kelas menyajikan [kita/kami] dengan suatu jendela ke dalam hubungan pengajaran kolaboratif [kita/kami]. Di (dalam) cerita berikut , kita meneliti suatu situasi yang (mana)  terjadi sebab kita harus lebih dulu penciptaan dan pertunjukan [adalah]  rencana pelajaran hari. Ada meleset sedetik keputusan yang dibuat dalam rangka memberi pengajaran kelas dan kemudian reaksi [kita/kami] setelah mencerminkan atas sore itu. [Selagi/Sedang] kita mempelajari dari keadaan sulit ini, kita mungkin belum akan mengalami pada waktu tegangan mempunyai kita mengajar pada [atas] kita sendiri. Sebab, di (dalam) kata-kata Yakobus Joyce, " kesalahan manusia adalah pintu gerbang penemuan nya," nilai [dari;ttg] pengalaman ini menjadi jelas bersih kepada [kita/kami] hanya bila melihat peristiwa lalu.

Apa [yang]  mengarahkan; mendahului masalah
 Ke sungguh-sungguh merencanakan untuk kenyataan pengajaran, kita harus belajar ke tenaga ahli [adalah]  yang tak diduga. Kita pada umumnya melakukan/did semua yang kita merasa adalah diperlukan untuk menyiapkan diri kita dalam cara apapun untuk masing-masing pelajaran. Berbagi tanggung-jawab mendorong [kita/kami] untuk [minta;tanya] lebih [] mempertanyakan dan mendiskusikan detil lebih secara menyeluruh dibanding kita akan telah melakukan [ketika;seperti] nyanyian tunggal para guru. Di (dalam) sesi perencanaan [kita/kami], kita berbicara sampai kita kedua-duanya merasa yang kita mempunyai suatu pemahaman [yang] serupa bagaimana kelas akan maju. Secara normal, pada ujung sesi perencanaan [kita/kami], kita akan mengambil beberapa menit untuk meringkas keputusan [yang] kita telah [menjadikan/buat] mengenai aktivitas, material, dan detil.
Dengan titik ini di (dalam) regu [kita/kami] [yang] mengajar pengalaman, kita telah menjadi [yang] sungguh nyaman satu sama lain. Kita telah mendirikan;tetapkan pola teladan di (dalam) interaksi [kita/kami]. Barangkali kesenangan ini mengijinkan [kita/kami] untuk melewatkan perencanaan yang akhir melangkah sepanjang sesi sebelum kelas tertentu ini. Kita tidak cek sekali lagi detil [yang] akan membawa dokumen siswa ke kelas. Pertunjukan reaksi [kita/kami] berikut  pada . ini krisis dan tanggapan [kita/kami] pada  kehilangan tak diduga ini .
 Manakala cerita mulai, kita  sedang memasuki yang kedua  separuh dari suatu dua proyek hari [yang] menggunakan suatu buku gambar-an anak-anak, Selasa, dengan David Wiesner. Dalam buku ini, kodok mempunyai suatu kemampuan gaib untuk terbang pada malam hari. Riwayat cerita petualangan mereka [sebagai/ketika] mereka terbang melalui/sampai kota, menyerang mendadak rumah, menjadi ditangkap belum di jilid berpegang erat-erat tali jemuran, dan pengendalian jarakj TV menyita perbekalan. Buku mengakhiri dengan suatu permainan pada [atas] suatu idiom: Selasa berikut , babi terbang. Kita menyukai ilustrasi keindahan buku, off-beat lelucon, dan teks [di]tertulis ketiadaan nya. Kita pikir Selasa itu, dalam  gaya senang bersuka ria nya , akan merangsang para siswa untuk menggunakan Spanyol.
Sepanjang periode kelas yang sebelumnya, kita telah meletakkan dasar untuk Selasa, mempresentasikan kosa kata untuk menulis penguraian dan cerita jadwal [kita/kami] untuk proyek yang dua hari itu. Kemudian kita membagi kelas ke dalam tiga kelompok dan memberi masing-masing kelompok [adalah]  tugas penulisan yang  teks untuk yang ketiga (menyangkut) cerita itu. Untuk [menyimpan/pelihara] suatu unsur kejutan di (dalam) latihan, kita tidak [minta;tanya] kepada para siswa lihat di luar cerita itu bagian dari mereka. Masing-Masing kelompok membelanjakan sisa dari periode yang menciptakan teks untuk porsi cerita mereka. Pekerjaan mereka (diharapkan) untuk digunakan sepanjang kelas yang berikutnya maka kita mengumpulkan penulisan pada ujung jam.
 Pada [atas] hari yang kedua , kita ingin para siswa untuk menyuling teks [yang] mereka telah menciptakan. Mereka akan tulis teks mereka pada [atas] catatan/kertas besar dan kemudian [berhasil; keliling] satu rangkaian melakukan koreksi aktivitas dan memperkuat pekerjaan mereka. [Yang] secepatnya kita akan membuat suatu produk akhir yang diciptakan oleh itu keseluruhan kelas. Kita merencanakan untuk mengundang [mereka/nya] untuk duduk di depan perapian di (dalam) kelas, melayani [mereka/nya] masakan dan susu, dan sudah [mereka/nya] membaca cerita bagian-bagian dari mereka dengan suara keras. Kita pikir [bahwa/yang] lelucon dari  situasi akan membantu [mereka/nya] merasakan [yang] lebih nyaman seperti mereka membagi bersama pekerjaan mereka [oleh/dengan] pembacaan ia/nya dengan suara keras. Adalah suatu rencana agung, [yang]  tujuan siapa , [yang] sungguh sial, adalah tidak untuk;menjadi dipenuhi hari itu.




Masalah mengarahkan
 Kita adalah bergairah tentang pelajaran untuk datang ketika kita masuk kelas dan mulai menentukan atas seperti biasanya. [Sebagai/Ketika/Sebab] Anne dihapus papan tulis musik dan Mary menerbitkan lembar;seprai kertas koran untuk digunakan di (dalam) menulis ulang teks [adalah]  para siswa mulai tibanya, dan kita menyambut [mereka/nya] dengan antusias, berharap agar mereka akan temukan kelas [sebagai/ketika] menggairahkan dan kesenangan [yang] ketika kita pikir ia/nya akan.
 Tiba-Tiba, kita menyadari bahwa [bukan/tidak] [kita/kami] mempunyai dokumen siswa. Mary pikir Anne itu mempunyai [mereka/nya]; Anne pikir Mary itu mempunyai [mereka/nya]. Tanpa dokumen siswa, kelas tidak bisa berproses ketika kita telah merencanakan.

Menjawab kepada masalah: Penciptaan mendadak
 Dengan dilema, kita mulai suatu desak-desakan yang kacau untuk sampai pada suatu rencana alternatif. Jika kita ingin bekerja dengan Buku Selasa, kita bisa [minta;tanya] para siswa untuk menulis kembali teks mereka. Bagaimanapun, membuat para siswa mengulangi pekerjaan mereka oleh karena kekeliruan [kita/kami] nampak seperti suatu hukuman. Fakta bahwa kita tidak mempunyai pekerjaan siswa juga nampak tidak hormat pada [atas] part;bagian [kita/kami], ciri khas [kita/kami] dan pendekatan [yang] unik [kita/kami] kepada krisis mulai ke permukaan. Kita mempunyai suatu cepat berjubel di [dalam]  sudut kelas. Para siswa masih tiba dan menyambut [kita/kami] seolah-olah adalah suatu hari normal. Mary merasa tekanan dan panik. Dia tidak ingin biarkan teman sekelas dan profesor nya menurun/jatuh. Dia ingin kelas untuk berlari dengan lembut, dan dia membenci keliru publik. Ini, yang dikombinasikan dengan ragu-ragu bercampur takut tentang masa dekat mendatang, menyebabkan tekanan nya. Anne mendekati situasi dengan suatu mind-set berbeda. Dia adalah tenang dan yang membangkitkan minat oleh potensi untuk penciptaan mendadak. Dia mempunyai kepercayaan di (dalam) Mary dan iman [bahwa/yang] periode kelas bisa menyelamatkan. Kepada nya, situasi adalah suatu petualangan: Adalah suatu kesempatan untuk mencoba sesuatu  (yang) secara spontan. Pada saat itu, meskipun [demikian], kita mempunyai [bukan/tidak] waktu maupun kecenderungan/kemiringan untuk mendiskusikan sikap [kita/kami].
Penciptaan mendadak regu, yang sedang bersama-sama " di atas pentas" di depan kelas, dapat sulit. Dengan perasaan [yang] berbeda [kita/kami] dan mind-sets, kita mempunyai banyak mengimbangi di (dalam) minoritas beberapa menit [yang] kita dulu menyusun kembali dan " rencana" kelas. Kita harus lebih dulu mempertimbangkan aktivitas alternatif, sikap pandang mitra [kita/kami], dan kebutuhan siswa. Kita harus lebih dulu mendengarkan satu sama lain [selagi/sedang] secara serempak berpikir pada [atas] kita sendiri. [yang] paling Penting, kita harus lebih dulu sampai pada jawaban [yang] dengan cepat. Kata-Kata gagal;kan [kita/kami] dengan cepat sebab kita tidak sempat menggunakan [mereka/nya] dengan baik. Kita hampir tidak mempunyai waktu untuk menjelaskan suatu gagasan, sangat sedikit meliputi satu sama lain dalam  pengembangan nya . Sesuatu (yang) harus lebih dulu memberi jalan masuk [adalah]  tindakan penyeimbangan. Dalam rangka memusatkan lebih pada berpikir tentang suatu solusi, Mary membatasi nya mendengarkan Anne langsung bahwa dia tidak dengar usul nya, maupun melakukan/did dia menyelidiki gagasan Anne'S dengan nya. Ini terjadi dengan cepat kata-kata itu adalah suatu beban. Menciptakan suatu visi [yang] serupa (menyangkut) kelas di (dalam) kedua-duanya pikiran [kita/kami] nampak sia-sia dan mustahil di (dalam) ini waktu ringkas.
Ke luar dari kerendahan [dari;ttg] pemikiran [yang] dibikin panik Mary'S dan usul tenang Anne'S, suatu gagasan datang. Rencana perlu penjelasan sedikit/kecil sebab adalah suatu aktivitas yang Mary telah mempelajari di (dalam) suatu kelas pada universitas nya dan telah mempertunjukkan di (dalam) mengedepan kelas Spanyol [yang] mereka telah kedua-duanya diambil di (dalam) musim gugur itu. Anne tadinya di dalam  kelas itu  dan telah mengambil bagian di (dalam) aktivitas, maka dia terlalu mempunyai suatu gambaran bagaimana latihan akan berproses. Anne, tidak ada apapun tekanan darah peningkatan Mary'S, siap disetujui gagasan itu. Begitu Mary memelopori dengan  latihan di [dalam]  permintaan saat/momen dan sedikit kata-kata diperlukan. Kita telah mengembang;kan gaya kita sendiri dalam berkomunikasi, bahkan di dalam kelas.
 Kita mulai aktivitas [oleh/dengan] pembagian para siswa ke dalam pasangan. Masing-Masing pasangan diberi suatu tergelincir catatan/kertas dengan nama dua object mati/membosankan terkait pada [atas] itu, sebagai contoh, " spageti" dan " suatu garpu" dan " suatu [kereta;mobil]" dan " suatu jalan raya". Kita [minta;tanya] masing-masing pasangan untuk [menyimpan/pelihara] rahasia object mereka. Tugas mereka akan mewujudkan object ini [oleh/dengan] mengembang;kan dan mempresentasikan suatu dialogue antar[a] [mereka/nya]. Mereka tidak bisa mengacu pada yang manapun obyek sesuai nama, untuk/karena adalah tugas kelas untuk mengira object dari tanda/ kunci rahasia di (dalam) percakapan itu. Dalam beberapa hal, adalah seperti teka-teki percakapan. Yang absurd unsur perujudkan suatu penamaan dan obyek [itu] memberi para siswa [adalah] suatu perjamuan aktivitas komunikatif. Dengan penemuan Mary'S dan aktivitas ini penerimaan terhadap Anne'S, masalah utama dari apa [yang] untuk lakukan telah diperdaya.
Panik Mary's yang dimulai ke bunuh diri [sebagai/ketika] dia pingsan tergelincir catatan/kertas. Kita telah memperdaya yang penting tantangan temuan suatu aktivitas di dalam beberapa menit, tetapi ada lebih [] rintangan di depan. [Seperti/Ketika] tersebut lebih awal, kelas diisi dengan para siswa MAT peserta. Banyak dari panutan [kita/kami] melihat di kelas sebagai suatu kesempatan untuk meneliti belajar dan mengajar. Kita ingin menyediakan para siswa dengan pelajaran peluang, dan mereka, pada gilirannya, mengajar [kita/kami] sebagian besar di (dalam) reaksi mereka ke ini belajar pengalaman. Kadang-Kadang ini bermaksud/arti bahwa kita menujukan isu bersifat pendidikan bersama-sama. Pada lain waktu, bagaimanapun, kita merasa didorong ke dalam ilmu mendidik dan [men]jauh dari Spanyol, dan diperlukan untuk mengambil lebih [] kendali (di) atas arah kelas. Setelah belanjaan [kita/kami] off-campus mengajar practicums bekerjasama dengan anak-anak di (dalam) dasar dan sekolah menengah, kita menemukan bahwa mencapai kata mufakat dengan peran [kita/kami] [sebagai/ketika] para guru orang dewasa adalah menantang. Kita digairahkan untuk;menjadi bekerjasama dengan mampu seperti (itu)  dan termotivasi para siswa, sekalipun begitu (yet) adakalanya kita adalah tidak mampu untuk menggali energi mereka [yang] ketika kita akan membuat ingin. Sekarang kita akan membuat untuk menunjukkan beberapa otoritas, suatu karya enak/bagus di (dalam) suatu kelompok panutan.
Satu siswa khususnya adalah suatu pelajar [yang] bergairah kedua-duanya Spanyol dan mengajar. Dia tadinya [yang] sangat penuh perhatian kepada detil [dari;ttg] pengajaran [kita/kami] dan nya belajar. Siswa ini menyokong material, gagasan, dan pengertian yang mendalam kepada kelas, dan kita biasanya menghargai dan menguntungkan dari masukan nya. [satu/ orang] Kesempatan, bagaimanapun, kita merasa dipaksa oleh ingin tahu nya. Pada [atas] [satu/ orang] tangan, kita ingin menyediakan suatu lingkungan mau menerima di mana para siswa merasa pernyataan nyaman kebutuhan mereka. Pada sisi lain, kita merasa suatu kewajiban untuk menggunakan kendali dalam rangka [menyimpan/pelihara] fokus dari  kelas pada [atas] pelajaran Spanyol. Di masa lalu, siswa ini telah menantang pemahaman [kita/kami] [dari;ttg] saldo/timbangan ini. Pada [atas] kesempatan ini, dia [minta;tanya] Mary [adalah] suatu pertanyaan yang (mana)  menunjuk suatu isu [yang] bersifat pendidikan penting [yang] kita tengah menguji di (dalam) kelas MAT [kita/kami]. Tanggapan Mary's adalah suatu produk masa lampau interaksi menyaring melalui/sampai situasi saat ini.
[Sebagai/Ketika/Sebab] Mary yang selesai membagi-bagikan tugas teka-teki, siswa [minta;tanya] nya bagaimana kita merencanakan melakukan koreksi siswa kesalahan di (dalam) latihan itu. Pertanyaan [dirinya] sendiri tidak bahaya, sekalipun begitu (yet) kombinasi dari  sejarah siswa di [dalam]  kelas dan tegangan saat/momen [menjadikan/buat] ia/nya nampak berlimpahan. Mary mampir taksiran nya, pengetahuan [yang] bahwa dia adalah tidak siap;kan untuk menjawab [ketika;seperti] dia akan telah menyukai. Setelah suatu nafas dalam, dia [minta;tanya] siswa ke tunggu sebentar dan diarahkan ke Anne untuk bantuan. [Itu] mengambil kejujuran untuk Mary untuk mengenali dan mengakui;mengijinkan pembatasan nya. [Selagi/Sedang] dia ingin memberi siswa [adalah] suatu jawaban hormat, dia adalah marah dan adalah tidak berpikir dengan jelas. Tegangan dari  saat/momen telah menghalangi kemampuan nya untuk bertindak. Mengandalkanlah Anne untuk bantuan memberi waktu nya untuk mengumpulkan perasaan dan pemikiran nya, dan [itu] juga memberi Anne [adalah] suatu kesempatan untuk masuk.
Anne telah menyaksikan interaksi antar[a] Mary dan siswa, dan dia, juga, mengenal sejarah siswa dan tekanan itu Mary  sedang merasakan. Kapan Mary mengarah ke nya, Anne gergaji [yang] bahwa dia membingungkan, dan Anne mengenal apa [yang]   telah harus dilaksanakan. Anne juga [merealisir/sadari] nilai di (dalam) pertanyaan siswa, dan secara diplomatis meminta siswa untuk menyarankan suatu koreksi kesalahan strategi. Komentar lalu;maka, dia menghamburkan situasi yang mudah menguap, kita memberi masukan [yang] lebih besar nya ke dalam kepunyaan nya [yang] belajar. Anne mempertanyakan juga membuka suatu diskusi tentang koreksi macam apa  akan bersifat bermanfaat di (dalam) keadaan ini, dan kita memutuskan yang kedua-duanya para siswa dan para guru akan mengambil tanggung jawab di (dalam) kesalahan yang mengoreksi. Pada akhirnya, pertukaran ini meluaskan cakupan pilihan dan mempertajam tanggapan [kita/kami] kepada kebutuhan siswa.
 Pekerjaan ke luar dengan baik. Para siswa menikmati peran mereka [sebagai/ketika] para aktor dan pencipta. Mereka mengambil tanggung jawab untuk tolong menolong menguji kesalahan [yang] dengan serius, dan banyak penjelasan menarik muncul dari pertanyaan [yang] mereka mengangkat. Kita kedua-duanya merasa suatu [perasaan/pengertian] relief;pembebasan [sebagai/ketika] kelas mengakhiri; panik [kita/kami] telah berubah menjadi produktivitas. Sekarang kita bisa sepertinya tentang apa kita telah mempelajari dari interaksi ini.

Pelajaran mempelajari
 Pelajaran pertama [yang] kita mempelajari akan merencanakan detil [yang] secara hati-hati dan secara konsisten. Kita bisa sudah menghindarkan keseluruhan situasi [oleh/dengan] penulisan suatu daftar nama sebelum kelas yang hari. Kemudian, kita akan telah menemukan kebingungan dengan dokumen [sebelum/di depan] kelas. Kita juga [merealisir/sadari] bagaimana bermanfaat [itu] akan mempunyai rencana darurat. Telah kita mengambil sekali waktu lebih awal di (dalam) regu [kita/kami] [yang] mengajar untuk mendiskusikan suatu potensi " merencanakan B" untuk/karena situasi tak diduga, kita bisa sudah menghindarkan sebagian dari tegangan yang muncul di (dalam) memutuskan harus berbuat apa. Tetapi penciptaan mendadak praktek mengijinkan masing-masing dari kita untuk menyadap sumber daya belum diselidiki.
 Kita lihat manajemen itu di (dalam) suatu orang dewasa kelas mempercayai pada; bersandarkan membentur suatu saldo/timbangan antar[a] kepedulian dan kendali. Di samping tekanan melingkupi pertanyaan siswa, aktivitas ditingkatkan suatu thousandfould oleh isu [yang] dia mengangkat. Ini diperkuat kepercayaan [kita/kami] di (dalam) pentingnya para siswa yang memberi masuk ke dalam proses pelajaran mereka sendiri. Lebih dari itu, kita mempelajari nilai yang sedang disesuaikan ke isyarat di (dalam) kelas sedemikian sehingga kita bisa menyediakan pen;dukungan untuk satu sama lain. Kita lihat yang satu itu jalan/cara kepedulian mempertunjukkan akan berbagi kendali (menyangkut) arah dari  kelas. Lagipula, cerita ini mempertunjukkan bagaimana ketrampilan pemikiran [yang] kompleks [kita/kami] dan pengetahuan pengajaran [yang] diam-diam [kita/kami] adalah beroperasi dengan cepat dan di (dalam) suatu pertunjukan terintegrasi dalam rangka membuat keputusan perlu. Melalui/Sampai pengajaran kolaboratif, kita memulai pemikiran berdiri/berusaha sendiri  [kita/kami] di (dalam) kelas; kita adalah " reflecting-in-action" ( Shon 1987).
Suatu bantuan kiasan berbakat musik menggambarkan proses sebab kadang-kadang pekerjaan [kita/kami] ini yang  hari menirukan musik jazz penciptaan mendadak: tindakan [yang] dengan lembut mengintegrasikan ke dalam capaian berkelanjutan. ( Schon 1987) tulis:

 Penciptaan mendadak terkandung dalam bermacam-macam, mengkombinasikan dan recombining figur di dalam suatu bagan yang memberi lekat kepada seluruh potongan. [Seperti;Sebagai;Ketika] musisi merasakan arah di mana musik sedang mengembang;kan, mereka membuat [perasaan/pengertian] baru tentangnya……. Mereka mencerminkan dalam perang pada [atas] musik [yang] mereka  sedang membuat.

 Di (dalam) cerita ini, kita bisa " penciptaan dan pertunjukan" bersama-sama sebab [kita/kami] " perasaan" dan keputusan tentang arah dari  kelas dipakukan; berakar di (dalam) dasar struktur [dari;ttg] visi [yang] bersama [kita/kami] (menyangkut) kelas itu. Ini, pada gilirannya, adalah shaped oleh pengetahuan pengembangan [kita/kami] untuk mengajar dan nilai-nilai bersama [kita/kami]. Begitu kita bisa menguji gagasan baru dan melakukan penyesuaian dasar pengetahuan masih dalam permulaan [kita/kami]. Pada waktu yang sama, kita mempelajari untuk;menjadi sadar akan keseluruhan situasi kelas [selagi/sedang] masih mengadakan percobaan dengan pokok-pokok itu. Kita pemahaman ini pengambilan keputusan terintegrasi [sebagai/ketika] " reflecting-in-action."
 Cerita [kita/kami] menunjukkan penggunaan komponen sama tujuan dan suatu pemahaman bagaimana cara melengkapi usaha satu sama lain [sebagai/ketika] kerjasama sekelompok [kita/kami] menjadi [yang] lebih dibariskan ( Senge 1990). Sebab kita bekerja/lancar bersama-sama, kita masing-masing mempunyai suatu kesempatan ke nyanyian tunggal [selagi/sedang] menemani itu lainnya. Melalui/Sampai pengajaran secara kolaboratif, kita mendorong satu sama lain lebih dalam di (dalam) pemahaman [kita/kami] dan menyajikan satu sama lain dengan usul alternatif yang memindahkan rintangan dari alur [kita/kami]. Dengan cara ini, kita seimbang satu yang lain  dan menyelidiki lebih lanjut  ke dalam seluk beluk/keruwetan mengajar.

Kerja sama/kolaborasi memimpin ke arah pelajaran
 Kita [haruslah] tidak kasus dari explorasi
 Dan akhir dari semua [yang] menyelidiki [kita/kami]
 Akan akan tiba [di mana/jika] kita memulai
 Dan mengetahui tempat untuk pertama kali
 T.S. Elliot
Cerita ini adalah explorasi ke dalam diri kita, pengajaran [kita/kami], dan pelajaran [kita/kami]. Melalui/Sampai proses pengalaman yang kolaboratif, dan menceritakan dan menulis cerita ini, kita sudah memperoleh suatu pemahaman [yang] baru [dari;ttg] identitas [kita/kami] [sebagai/ketika] guru, para teman, dan para rekan kerja; kita sudah mengenali bagian-bagian dari diri kita untuk pertama kali. Sebab kita sudah mencerminkan pengalaman umum [yang] menggunakan profesional [yang] bersama [kita/kami] bercakap-cakap ( orang bebas 1991A), pengajaran konsep yang mulai [ketika;seperti] kata-kata- dan [sebagai/ketika/sebab] penyajian gagasan simbolis- sudahkah menjadi anchored di (dalam) pengalaman pribadi. Di (dalam) pendekatan ini untuk belajar, cerita atau saat/momen dari praktek telah dihubungkan dengan permasalahan dan konsep. Dengan contoh [yang] hidup/gamblang/bersemangat ini pada tempatnya, kita menyerap maksud/arti mereka dan membangun penafsiran kita sendiri ini mengajar gagasan. [Yang] sebagai konsekwensi, pengetahuan ini telah menjadi tersedia untuk [kita/kami] sebagai sumber daya untuk di masa datang. Dengan cara ini, filosofi [kita/kami] mengajar dan pelajaran sudah memperdalam seperti halnya mengenali " [di mana/jika] kita started….for [adalah]  pertama kali."
 Untuk/Karena [kita/kami], kerja sama/kolaborasi yang dimaksud secara konsisten bekerja bersama untuk memenuhi suatu tugas; adalah satu rangkaian tindakan yang melengkapi perihal mitra [kita/kami]. Di (dalam) suatu [perasaan/pengertian] lebih dalam, [itu] menjadi suatu jalan/cara [yang] sadar dalam mendekati pengajaran, rasa hormat didasarkan pada untuk dan penghargaan (menyangkut) kehadiran lain itu. Kita kedua-duanya ditinggalkan pengalaman terbuka bagi arti penting dan potensi [dari;ttg] perencanaan kolaboratif sebab kita menyadari bahwa rencana [yang] kita menciptakan bersama-sama adalah lebih besar dibanding itu kita mungkin sudah mengembang;kan secara individu. Kontribusi dari kedua-duanya [kita/kami] menuju/mendorong [yang] lebih kreatif dan melengkapi;menyudahi rencana pelajaran. Di masa datang, kita akan men/cari peluang untuk mendiskusikan rencana dengan para guru lain sebagai jalan/cara penangkapan kembali manfaat ini.
Cerita kerja sama/kolaborasi di (dalam) kelas menunjukkan [kita/kami] bagaimana kendali di (dalam) kelas adalah kerumitan harus konsep kepedulian. Memperhatikan reaksi [kita/kami] ke dan cerminan/pemantulan pada [atas] peristiwa memberi [kita/kami] pengertian yang mendalam ke dalam bagaimana proses pengajaran [kita/kami] adalah terdiri atas suatu campuran [yang] unik [dari;ttg] pengetahuan diam-diam dan teori bersifat pendidikan. Sebab unsur-unsur ini, kedua-duanya " susah untuk menggambarkan dan dekat dengan jiwa itu" ( Duckworth 1987) ditantang dan diuji dengan sekongkol, kita membangun suatu dasar lebih luas dari yang (mana)  untuk membuat keputusan intuitif. Ini, pada gilirannya, shaped pemahaman pengajaran [kita/kami].
 Kerja sama/kolaborasi dapat bertindak sebagai suatu katalisator dan suatu cermin untuk membongkar, menyatakan, dan menguji gagasan. [Itu] dapat yang didorong kearah pelajaran diperkaya dan meningkatkan instruksi. Pengajaran pengetahuan, betapapun, pengembangan ( orang bebas 1991B). Kita mengenali bahwa situasi [kita/kami] adalah tidak sering tersedia untuk kebanyakan para guru atau para siswa pengajaran. Pertanyaan bagaimana cara menciptakan kesempatan semacam itu untuk para guru untuk bekerja sama/ berkhianat dan belajar dari satu sama lain tinggal relevan dan bersangkutan. Bagaimana mungkin kita membangun jembatan untuk menghubungkan para guru di (dalam) pengalaman penuh arti yang menimbulkan pikiran, dialogue, cerminan/pemantulan, dan pelajaran? Kita percaya bahwa prospek untuk meningkat;kan pengajaran tiduran kemudian jawaban atas pertanyaan ini.